Atasi Dampak PMK, Produktivitas Sapi Perlu Digenjot

Atasi Dampak PMK, Produktivitas Sapi Perlu Digenjot

Jakarta: Lembaga penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyebutkan bahwa upaya meningkatkan produktivitas sapi perlu digenjot untuk meminimalkan dampak penyakit mulut dan kuku (PMK).
 
“Pemerintah perlu memprioritaskan vaksinasi anti PMK ke sapi-sapi yang sehat di zona merah dan kuning dengan mempertimbangkan keterbatasan vaksin yang ada. Prioritas diperlukan untuk memastikan vaksinasi yang diberikan bisa bermanfaat untuk menahan laju penularan yang cepat,” kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta dikutip dari Antara, Jumat, 8 Juli 2022.
 

Walaupun PMK diduga berasal dari sapi impor, Indonesia masih membutuhkan sapi impor untuk memenuhi kebutuhan. Prognosa daging sapi 2022 dari Kementerian Pertanian menunjukkan sekitar 30-40 persen kebutuhan daging sapi nasional dipenuhi melalui impor daging yang didominasi oleh Australia, baik impor daging sapi maupun impor sapi bakalan.
 
Menurut Aditya, terdapat beberapa faktor yang memengaruhi ketersediaan sapi dalam negeri seperti industri pembibitan sapi yang terbatas, rantai distribusi yang panjang, dan transportasi dan logistik berbiaya tinggi karena karakteristik negara kepulauan yang besar.





Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Aditya menjelaskan ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan produktivitas sapi nasional. Yaitu untuk sektor sapi perah diperlukan perubahan fokus kebijakan peternakan sapi dari peningkatan populasi sapi menjadi peningkatan produktivitas susu.
 
“Lebih banyak ternak berarti lebih banyak lahan yang digunakan untuk pakan, padahal keterbatasan lahan sudah menjadi tantangan utama ketersediaan pangan nasional,” katanya.
 
Selanjutnya, pemerintah dapat memfasilitasi akses peternak kepada teknologi. Hal ini dapat dicapai melalui beberapa cara, yaitu Kementerian Pertanian dengan dukungan program peningkatan kapasitas dari LSM, swasta, dan donor, dapat memfasilitasi arus informasi pasar yang berkelanjutan antara petani, koperasi, dan perusahaan.
 
Menurut Aditya, kurangnya informasi pasar telah menghalangi peternak untuk melihat peluang melakukan negosiasi harga yang lebih baik. Pemerintah juga harus memastikan industri peternakan yang kompetitif dengan menghilangkan hambatan perdagangan dan investasi, seperti persyaratan modal minimum untuk investasi baru untuk mengundang lebih banyak investor ke pasar.
 
“Dengan lebih banyak perusahaan pengolahan sebagai pembeli potensial, peternak dapat menegosiasikan harga yang lebih baik,” kata Aditya.
 
Aditya juga menekankan pentingnya mendorong transfer teknologi melalui kemitraan antara peternak dan perusahaan. Kemitraan dapat membuka akses peternak kepada pasar dan meningkatkan kualitas, karena adanya kewajiban untuk menghasilkan daging, susu, atau produk turunannya sesuai standar.
 
Peningkatan produktivitas peternakan, lanjut dia, juga tergantung pada akses peternak terhadap pakan. Oleh karena itu, koordinasi lintas kementerian, misalnya antara Bappenas dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang, perlu dilakukan untuk menyelaraskan aturan tata guna lahan dengan penyediaan pakan sapi yang berkelanjutan.
 
Menurutnya, pemerintah juga perlu memastikan ketersediaan pakan sapi berkualitas yang dapat diakses dengan harga terjangkau oleh peternak.
 
Penularan PMK yang terjadi di Indonesia memengaruhi pasokan domestik dan fluktuasi harga daging sapi. Data siagapmk.id menunjukkan, per 1 Juli, PMK telah menginfeksi sekitar 1,6 persen populasi sapi nasional atau sekitar 298.933 ekor di 19 provinsi dan 223 kota/kabupaten.
 
Untuk menekan penularan PMK, kata Aditya, pemerintah terus menggencarkan vaksinasi, membentuk satgas penanganan penyebaran PMK, dan melakukan pengiriman ternak melalui tol laut untuk menghindari penyebaran PMK dari daerah pandemi.
 
Data CIPS menunjukkan harga sapi kurban tetap naik sebesar 20-40 persen menjelang Idul Adha karena tingginya biaya yang harus dikeluarkan peternak untuk pemeriksaan kesehatan, transportasi, dan biaya pakan selama karantina hewan.
 
Kenaikan harga ditambah dengan kekhawatiran akibat virus PMK menyebabkan penurunan permintaan hewan kurban sebesar 30-40 persen di beberapa daerah seperti Aceh, Jawa Tengah, dan Sumatra Utara.
 

(SAW)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *