tribunwarta.com – Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) meminta kebijakan pangan pemerintah bertumpu di atas prinsip kesejahteraan petani dan bukannya konsumen sebab jika petani sejahtera maka konsumen pastinya sejahtera dan negara juga akan ikut sejahtera.
“Prinsip menempatkan kesejahteraan petani sebagai titik tumpu kebijakan ini belum kita lihat. ” kata Ketua Umum HKTI Fadli Zon dalam catatan akhir tahunnya yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Hal ini, kata Fadli Zon, bisa dilihat dari ketetapan HPP (harga pembelian pemerintah) untuk gabah atau beras yang belum pernah direvisi dalam dua tahun terakhir, padahal setahun terakhir Indonesia tengah menghadapi isu inflasi,
Fadli Zon mengatakan, sebelum Permendag 24 tahun 2020, pemerintah juga sebelumnya tidak pernah merevisi HPP selama lima tahun penuh.
“Kita tahu, besaran HPP sebelumnya ditetapkan melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Kebijakan HPP itu baru direvisi tahun 2020,” katanya.
Menurut HKTI, HPP adalah instrumen penting yang bisa mendongkrak kesejahteraan petani. Sebab, HPP menjadi acuan pihak swasta dalam membeli gabah dan beras petani.
HPP yang berlaku saat ini adalah Rp8.300 per kg beras dengan kualitas kadar air paling tinggi 14 persen, butir patah paling tinggi 20 persen, kadar menir paling tinggi 2 persen dan derajat sosoh paling sedikit 95 persen.
Sedangkan HPP gabah kering panen (GKP) di tingkat petani Rp4.200 per kg dengan kualitas kadar air paling tinggi 25 persen dan kadar hampa/kotoran paling tinggi 10 persen.
Selain HPP, kata Fadli Zon, pemerintah perlu segera merevisi angka ideal CBP (cadangan beras pemerintah). “Memang idealnya stok yang dimiliki Bulog adalah sekitar enam bulan penyaluran. Jika kita mengacu data penyaluran Bulog pada 2020-2021, angka rata-rata penyaluran per bulan adalah sekitar 120 ribu ton. Jika angka ini dijadikan patokan, maka stok ideal di Bulog adalah sekitar 720 ribu ton. Ini adalah angka ideal,” katanya.
Masalahnya adalah situasi saat ini jauh dari ideal, kata Fadli. Apalagi di tengah konflik Rusia-Ukraina dan meningkatnya ketegangan global belakangan ini. Pasar pangan dunia kondisinya sama sekali jauh dari ideal. Sehingga, ini mestinya mendorong pemerintah untuk melakukan penyesuaian terhadap angka CBP. “Berapa angka ideal baru yang rasional? Ini perlu didiskusika, katanya.
Selanjutnya, “timing” atau waktu pengambilan kebijakan pangan juga harus tepat. Setiap kebijakan haruslah bersifat tepat waktu, termasuk kebijakan pangan. Misalnya adalah kapan Bulog harus melakukan penyerapan atau penyaluran pangan, penting sekali diatur waktunya. Pada saat paceklik, Bulog tidak seharusnya memaksakan diri melakukan penyerapan, karena harga beras pastinya tinggi.
Pengadaan dan penyerapan pasar oleh Bulog mestinya dimaksimalkan pada saat panen raya (semester pertama), ketika stok sedang melimpah dan harga sedang murah. Itu sebabnya keputusan untuk mengimpor beras di akhir tahun adalah keputusan yang buruk, sebab harga beras sedang tinggi. Akhir tahun seharusnya bukanlah waktu untuk pengadaan, tapi justru untuk penyaluran, atau pelepasan cadangan.