Travel  

Mampir ke Perkebunan Pala Legendaris di Banda Neira, Usianya 400 Tahun

Mampir ke Perkebunan Pala Legendaris di Banda Neira, Usianya 400 Tahun

tribunwarta.com – Jika berkunjung ke Kepulauan Banda , Maluku Tengah, salah satu destinasi yang tak boleh dilewatkan adalah sebuah perkebunan pala legendaris di Pulau Banda Besar.

Disebut legendaris, sebab perkebunan (perk) ini dimiliki dan dikelola oleh generasi ke-13 pemilik perkebunan (perkenier) di Kepulauan Banda, Pongky Van Den Broeke.

“Saya penerus generasi ke-13 dari Paulus dan Peter Van Den Broeke yang masuk ke Banda tahun 1621, jadi 400 tahun lalu,” kata Pongky saat ditemui Kompas.com di Desa Walang, Banda Besar, Senin (30/10/2022).

Paulus Van Den Broeke sendiri adalah seorang admiral angkatan laut Belanda yang ditugaskan mengawal pengembangan pala pada 1621.

Kakek moyang Pongky ini pertama kali ditugaskan mengelola perkebunan (disebut dengan perk) di Pulau Ay seluas 20 hektar.

Pada generasi kelima, klan Van Den Broeke telah mengelola hingga 140 hektar sampai ke Pulau Banda Besar.

Perkebunan Pala Waltervreden Lonthoir (Lontor atau Banda Besar) menjadi salah satu yang eksis hingga saat ini dan bisa dikunjungi wisatawan yang ingin mempelajari sejarah pala di Banda.

Melihat-lihat perkebunan pala milik Pongky

Senin sore, setelah sekitar 15 menit perjalanan naik perahu dari pulau Banda Neira , Kompas.com sampai di pulau Banda Besar, tempat perkebunan pala legendaris milik Pongky.

Saat perahu merapat ke pinggir dermaga, tampak sebuah gerbang berwarna abu-abu yang seolah menjadi pintu masuk menuju area pulau.

Pongky beserta keluarga besarnya yang terdiri dari istri, anak, hingga cucu menyambut rombongan dengan ramah. Dimulailah sesi tur keliling kebun sambil mendengar sejarah kebun legendaris milik klan Van Den Broeke.

Perkebunan di belakang rumah nampak menyimpan berbagai jenis tanaman dan tumbuhan, mulai dari pala, cengkeh, kenari, hingga kayu manis. Pongky juga memeragakan cara mengambil buah pala di atas pohon menggunakan alat jepit khusus.

Beberapa petani pala pun membuka buah pala, memisahkan kulit dari bijinya. Kulitnya akan digunakan sebagai bahan baku manisan pala, bijinya dijemur dan dijadikan minyak serta bahan lain.

Usai puas berkeliling, Kompas.com dan rombongan kembali ke area rumah yang di sampingnya memiliki ruangan khusus mesin pengolah minyak pala.

Mesin berukuran besar tersebut terdiri dari beberapa bagian, mulai dari kuali penghancur, mesin pendingin, hingga proses terakhir terbagi antara minyak dengan air.

“Akhirnya, ini terpisah minyak sama air. Airnya saja bisa dijadikan bahan baku untuk sabun mandi.”

“Jadi semua (komponen) pala ini memang berfungsi, ada manfaatnya,” tutur Pongky sambil menunjuk salah satu bagian mesin.

Kemudian, Kompas.com juga diajak melihat pemisahan biji pala dengan kulit, sampai mengunjungi tempat pengasapan pala di bagian atas rumah keluarga Pongky.

Tempat pengasapan pala tersebut diletakkan di atas alas bambu dengan pancaran suhu panas yang cukup kuat.

Sejarah perkebunan pala Van Den Broeke

Sebagai informasi, kepulauan Banda dikenal sebagai penghasil rempah pala yang harganya sangat tinggi di masa lalu. Keharuman dan khasiat pala membuat gugusan Pulau Banda diperebutkan bangsa Eropa sejak abad ke-15.

Dari cerita Pongky, diketahui kejayaan pala Van Den Broeke tidak berlangsung sangat lama. Dulu, dalam satu tahun klan Van Den Broeke dapat menyetorkan 3.000 ton pala ke luar Banda.

Namun, Jepang datang pada 1942 dan mengobrak-abrik ladang pala milik klan Van Den Broeke. Williem Frederick Steiner Van Den Broeke, kakek Pongky, dibawa ke Makassar menjadi tawanan.

“Jepang masuk 1942 karena Banda dianggap strategis. Jadi orang Jepang mendarat di sini, mengalahkan orang-orang Belanda. Pemilik perkebunan ditawan di Makassar,” ujar dia.

Saat itu, kata Pongky, rumah miliknya dibakar dan wayang-wayang kulit milik para pekerja perkebunan hilang entah ke mana.

Selain itu, sebagian kebun pala Van Den Broeke dibabat, diganti singkong dan umbi-umbian sebagai bahan pokok masyarakat Asia.

Saat Indonesia merdeka dan Jepang pergi, klan Van Den Broeke tidak langsung mendapat kembali keagungan yang mereka bangun.

“Saat itu, perkebunan diambil alih oleh pemerintah Indonesia. Keluarga Van Den Broeke sempat tidak punya perkebunan pala satupun,” kenang Pongky.

Ia bercerita, dirinya membutuhkan perjuangan panjang meminta hak atas ratusan hektare kebun pala termasuk rumah yang dulu dimiliki Van Den Broeke.

Perkebunan pala Van Den Broeke dikembalikan

Setelah melalui berbagai hal, seluas 12,5 hektar kebun dikembalikan pada 1978.

Akibat perubahan iklim, luas, dan faktor lain, kebun milik Van Den Broeke yang tadinya bisa menghasilkan puluhan ton pala perbulan dengan 100 lebih pekerja, kini sudah berubah.

“Sekarang hanya 12,5 hektar kebun yang kembali ke keluarga Van Den Broeke sebagai kompensasi, dengan delapan pekerja,” ungkapnya.

Kini, perkebunan pala tersebut selain diolah menjadi manisan, juga dibudidayakan untuk diambil minyaknya dan dijual ke sejumlah negara.

Tak sampai di situ, berbagai cobaan saat mengelola kebun pernah Pongky alami setelah menceritakan kependudukan Jepang berakhir.

Puncaknya, ketika menjadi korban serangan pada konflik horizontal di wilayah Ambon pada 1999.

Kala itu, ia dan keluarganya dicap penjajah karena dianggap keturunan Belanda.

Namun, peristiwa itu tak lantas membuatnya meninggalkan tanah kelahiran dan perkebunan yang telah melalui sejarah panjang ratusan tahun.

Ia mengaku telah berdamai dan ingin terus melanjutkan amanah mendiang ayahnya untuk mengelola kebun pala.

“Perkebunan ini dibangun dengan penuh pengorbanan. Jadi harus dijaga dan dilestarikan, dirawat untuk seterusnya sampai ke anak cucu,” tutur Pongky.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *