DJI bergabung dengan lebih dari 60 perusahaan China lainnya yang di-blacklist oleh AS, meliputi produsen semikonduktor SMIC dan Huawei Technology.
Produsen drone terbesar di dunia, DJI, masuk dalam daftar hitam Departemen Pertahanan AS (DoD). Perusahaan diklaim memiliki hubungan militer dengan China, sehingga membantu memodernisasi Tentara Pembebasan Rakyat dengan teknologi canggih.
“Departemen bertekad untuk menyoroti dan melawan strategi Perpaduan Sipil-Militer Republik Rakyat Tiongkok, yang mendukung tujuan modernisasi Tentara Pembebasan Rakyat dengan memastikan aksesnya ke teknologi dan keahlian canggih diperoleh dan dikembangkan oleh perusahaan, universitas, dan program penelitian yang tampaknya merupakan entitas sipil,” menurut pernyataan pers Pentagon, dikutip dari Interesting Engineering (11/10).
DJI, perusahaan berbasis di Shenzhen yang disebut-sebut menguasai lebih dari setengah pasar global drone komersial, bergabung dengan lebih dari 60 perusahaan China lainnya yang di-blacklist oleh AS. Ini termasuk produsen semikonduktor SMIC dan Huawei Technology.
Sebelum masuk dalam daftar hitam Pentagon, Departemen Keuangan AS tahun lalu melarang warga untuk memperdagangkan saham DJI dan tujuh perusahaan China lainnya. Hal ini disebabkan dugaan keterlibatan dalam pengawasan etnis minoritas Uighur di wilayah Xinjiang, China.
Menurut analis Charles Rollet dari kelompok riset pengawasan di IPVM, Pennsylvania, tindakan terhadap DJI ini menjadi sinyal bagi investor untuk menjauh dari bisnis.
“DJI telah ditambahkan oleh Departemen Keuangan AS ke daftar Perusahaan Kompleks Industri-Militer China Non-SDN pada Desember 2021, melarang investasi AS ke dalam perusahaan. Jadi daftar DoD menegaskan bahwa pemerintah AS dengan tegas menganggap DJI sebagai kontributor untuk Militer Republik Rakyat China (PCR),” kata Rollet kepada Al Jazeera.
Selain itu, Rollet juga menyoroti investasi yang diterima DJI dari dana milik negara RRC, China Chengtong, yang secara terbuka menjadikan Perpaduan Militer-Sipil sebagai tujuan utama.
Menurut juru bicara DJI Adam Lisberg, perusahaan adalah satu-satunya produsen drone yang melarang tujuan penggunaan untuk militer. DJI mengatakan siap untuk secara resmi menantang masuknya perusahaan ke dalam daftar hitam.
“DJI tidak termasuk dalam kategori yang ditetapkan oleh undang-undang untuk dimasukkan dalam daftar. DJI bukan perusahaan militer di China, Amerika Serikat, atau di mana pun. DJI tidak pernah merancang atau membuat peralatan kelas militer, dan tidak pernah memasarkan atau menjual produknya untuk keperluan militer di negara manapun. Sebaliknya, kami selalu mengembangkan produk untuk memberi manfaat bagi masyarakat dan menyelamatkan nyawa,” ujar Lisberg.
Untuk diketahui, DJI memegang pangsa pasar 76% menurut volume penjualan, diikuti oleh Intel, yang memegang pangsa pasar 4%. Meskipun DJI terkenal dengan drone konsumennya, bisnis ini juga menjual drone industri untuk keselamatan publik, inspeksi infrastruktur dan saluran listrik, pertanian, dan penggunaan lainnya.
Artikel ini bersumber dari www.tek.id.