Telset.id, Jakarta – Indonesia Fintech Society (IFSoc), meminta agar peraturan dan definisi kripto diperjelas dalam Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK). Tujuannya demi melindungi konsumen.
Salah satu Steering Committe IFSoc, Tirta Segara dalam diskusi online pada Kamis (27/10/2022), menjelaskan kalau nilai transaksi aset kripto di Indonesia seperti Bitcoin, Ethereum dan lain sebagainya mencapai puluhan triliun rupiah setiap bulannya.
Sejak Januari hingga Juni 2022, nilai transaksi aset kripto di Tanah Air bisa menembus hingga Rp 46,4 triliun pada bulan Maret 2022. Sedangkan pada bulan Juni 2022, nilai transaksi menurun hingga 50%.
“Menurut data dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), nilai transaksi aset kripto turun menjadi Rp 20 triliun pada Juni 2022,” jelas Tirta Segara.
Meski memiliki nilai transaksi yang tinggi, Tirta amat menyayangkan mengapa belum ada definisi dan pengaturan yang jelas mengenai aset kripto. Selama ini kripto hanya dianggap sebagai komoditas saja.
Definisi tersebut dinilai terlalu sempit dan belum jelas, sehingga kalau dibiarkan Tirta khawatir akan berdampak pada perlindungan konsumen.
BACA JUGA:
“Diperlukan kejelasan mengenai definisi dan pengaturan aset kripto yang sering menimbulkan permasalahan pada aspek perlindungan konsumen,” tutur Tirta.
Atas dasar itu, IFSoc memberikan 3 rekomendasi agar RUU PPSK memperjelas definisi kripto. Pertama IFSoc berharap semoga RUU PPSK tidak hanya dianggap sebagai komoditas, tetapi sebagai aset digital.
“RUU PPSK semoga bisa memperluas cakupan aset kripto menjadi aset digital dan difokuskan pada pemanfaatannya yang terbatas pada sektor keuangan,” ungkap Tirta.
Rekomendasi kedua, RUU PPSK harus memberikan batasan yang jelas mengenai aset digital. Harus dibedakan mengenai jenis aset digital apa saja yang bisa dimanfaatkan pada sektor keuangan, dan sektor non-keuangan.
BACA JUGA:
“RUU PPSK dapat memberikan batasan-batasan yang jelas antara aset digital yang dikategorikan dalam sektor keuangan dan non-keuangan,” kata anggota dewan komisioner OJK periode 2017-2022 ini.
Rekomendasi terakhir, supaya RUU PPSK dapat lebih hati-hati dalam mendefinisikan atau mengkategorikan aset digital. Disarankan untuk mempertimbangkan beberapa pendekatan seperti pendekatan risiko atau risk-based approach.
“Dalam mendefinisikan aset digital, dapat dipertimbangkan untuk melakukan pengkategorian dengan risk-based approach,” tutup Tirta. [NM/HBS]
Artikel ini bersumber dari telset.id.