Jangan cari masalah dengan Wina. Jangan bikin gara-gara dengan dia. Dia anak perempuan yang manis dan pintar, tapi perangainya keras. Makanya, jangan cari masalah dan bikin gara-gara dengannya.
—
NANTI kau akan seperti Zainul yang dicakar Wina wajahnya, membekaskan luka memanjang di pipinya. Saya kira Zainul memang keterlaluan.
Kawan sekelas kami itu sebenarnya lebih tua dua atau tiga tahun di atas kami. Dia lekas akil balig. Kami masih kanak-kanak, dia sudah remaja. Pikirannya mulai lain kepada teman-teman perempuan. Mulai gatal tanduk. Zainul suka sama Wina.
Zainul mendekati Wina dengan membeli dagangan Wina. Sebagai pedagang dia bisa baik pada siapa saja. Wina berdagang macam-macam di sekolah Arab. Sekolah khusus belajar agama sore hari. Sekolah kami itu ada di seberang masjid jamik, persis di depan kuburan. Kalau kami buka jendela kelas, terhampar kuburan datu-datu kami, lalu nun di ujung sana rumah nelayan dengan tiang-tiang tinggi di pantai, lalu pohon bakau, lalu laut.
Wina berdagang macam-macam, permen karamel merah yang dibentuk macam-macam dan diberi pegangan lidi, minuman sirup dalam plastik panjang, kadang-kadang jual jambu yang direnteng di lidi kalau sedang panen, atau kedondong yang sudah diiris-iris dan dibubuhi garam pedas.
Wina, anak yang berdagang di sekolah Arab itu teman aku. Kami tidak bersaing karena dagangan kami beda. Aku menjual roti bakar bikinan mamaku. Kami menyebutnya wadai gambung. Besarnya sekepalan tangan, dengan bekas hangus pembakaran di atas di bawahnya.
Habis main voli, sore itu, Zainul beli minuman sirup manis Wina. Bentuk plastiknya yang memanjang itu membuat imajinasi Zainul jadi liar. Saya kira dia bercanda ketika memperagakan gerakan tak senonoh dengan sirup itu di hadapan Wina.
Wina murka. Ia terjang Zainul. Ia cakar wajahnya. Tiga baris luka berjajar panjang mengalirkan darah di wajah Zainul. Karena tahu dia salah, Zainul tak melawan. Ia lekas-lekas lari sembunyi di tangki besar di belakang masjid.
Sejak saat itu, terkenal peringatan jangan macam-macam sama Wina.
Aku tak pernah macam-macam dengannya. Aku mungkin teman laki-laki yang paling dekat dengannya karena kami sama-sama berjualan di sekolah sore, sekolah Arab kami.
Kadang-kadang kami bergantian menjagakan dagangan kalau kami giliran main. Wina tak terkalahkan main yeye merdeka. Setinggi apa pun bentangan karet bisa ia capai dengan lompatannya yang tak terlawan.
Kami juga barter satu dagangan tiap hari. Aku memang dapat jatah satu kue lebih untuk kumakan sendiri. Nah, kalau bosan kue jatahku itu kutukar dengan dagangan Wina. Kalau tak gula-gula karamel saya barter dengan kedondong kupas.
Perdagangan barter kami berjalan lancar. Sampai suatu hari Wina menawarkan satu skema yang penuh rahasia. Dia mengajak aku bicara berdua di belakang sekolah, di pendapa kuburan.
”Begini, kita tetap barter tiap hari. Kamu ambil satu jualanku, aku ambil satu jualanmu,” kata Wina.
”Kan biasanya juga begitu?”
”Nah ini yang beda. Aku tak ambil jatahku itu. Kamu jualkan saja. Simpankan uangnya… Paham ya?”
”Paham,” kataku, ”tapi kenapa aku harus simpan uangnya? Kan bisa titip ke Ani, sepupumu, atau sama kakakmu?”
”Ani tak bisa simpan rahasia. Di rumah? Justru aku tak mau ada saudaraku yang tahu. Ini sementara. Sampai jumlah tertentu. Terus kamu simpankan. Pada waktunya aku perlu, aku ambil…” kata Wina.
”Uang ini buat apa?”
”Sudah, tolong simpan saja. Nanti kamu juga tahu…”
Saya agak ragu soal menyimpan uang itu. Tapi, kalau saya sepakati ini saya tak boleh main-main dan cari gara-gara dengannya.
”Setuju ya?” kata Wina.
”Oke. Setuju,” jawabku.
Di rumah aku punya kantong uang. Kantong kain dengan tali serut pengikat di bagian atasnya. Di situ aku simpan uang tabunganku, sekeping demi sekeping, selembar demi selembar, sampai menggelembung. Mamaku yang bikinkan kantong itu. Di mana aku simpan uang Wina? Kalau aku minta bikinkan kantong sama mamaku nanti dia tahu. Akhirnya aku simpan di sapu tangan saja. Sampai penuh sapu tangannya, Wina belum ambil uang itu.
”Win, uangmu sudah banyak. Kapan mau diambil?” tanyaku.
”Nanti lah. Simpan dulu. Masih aman kan?”
”Masih lah. Tak ada yang tahu.”
Ternyata hari itu jawabanku salah. Mama menemukan uang dalam sapu tangan itu. Aku ceroboh menyimpannya. Kuletakkan di balik meja belajar, di samping tempat tidurku. Baru saja aku masuk rumah sepulang sekolah Arab sore itu aku diinterogasi. ”San, ini uang apa? Kamu curi uang mama ya?”
”Bukan, Ma. Itu uang….” Aku tak bisa melanjutkan penjelasanku.
”Uang apa? Kamu jangan mencuri uang mama ya. Mentang-mentang mamamu ini tak bisa menulis dan membaca,” kata mamaku. Matanya berair, terdesak perasaan marah, kesal, dan sakit hati karena merasa diakali oleh anaknya.
”Bukan, Ma. Itu uang Wina…”
”Uang Wina? Uang apa? Kamu bawa-bawa nama temanmu lagi…”
Mama marah besar. Percuma saya jelaskan, dia tak akan percaya. Satu-satunya cara hanya minta Wina yang bicara langsung. Tapi itu artinya aku melanggar perjanjian kami? Aduh, aku bayangkan dia mengamuk dan mencakar wajahku! Tapi tak ada cara lain.
”Mama tunggu. Aku panggil Wina…” kataku.
Lantas aku bergegas lari ke rumah Wina. Hari sudah hampir magrib. Bapakku sedang mengawasi pekerja menurunkan nisan dan kuburan marmer. Banyak pesanan baru. Sekarang kuburan di belakang sekolah kami bagus-bagus.
Rumah Wina tak jauh dari masjid, di seberang sekolah Arab. Rumah kayu dengan tiang-tiang yang agak tinggi. Besar dan panjang. Saudaranya banyak. Saya susah menghafal satu per satu dan sering tertukar. Aku tak pernah masuk sampai ke dapur rumahnya. Paling hanya di ruang depan, pas tahlilan, ikut bapakku.
Hari ini aku nekat, masuk sampai ke dapurnya. Wina sedang bikin permen gula karamel. Saudara-saudaranya yang lain semua sibuk. Ada yang masak nasi kuning, ada yang membungkus, ada yang bikin kue-kue basah. Semua sibuk. Setahu saya, Wina ditinggal meninggal ibunya saat dia masih kecil. Bapaknya menikah lagi, punya anak lagi dan tinggal di rumah lain.
”Win,” kataku memanggil.
”Aduh, ngapain kamu ke sini?” katanya sewot, matanya membesar marah. Seram. Aku tak berani menantang matanya. Aku jelaskan persoalanku dengan mamaku terkait uangnya yang aku simpan.
”Ke rumahku yuk. Tolong jelaskan ke mamaku.”
***
”Mamamu orang baik banget, Wina. Aku belajar bikin kue dan masak nasi kuning yang enak sama dia,” kata mamaku. Mamaku seumuran dengan kakaknya Wina yang nomor berapa gitu.
”Wajahnya seperti apa? Apa benar seperti aku?” tanya Wina.
”Iya, kamu yang paling mirip dengan dia.”
Dan inilah rahasia Wina dan uang yang ia titipkan padaku itu. Ia ingin membeli kuburan marmer untuk nisan kayu ulin di makam mamanya. Malam itu kami menghitung uangnya. Belum cukup untuk membeli yang paling murah sekalipun.
”Kalau ditambah ini cukupkah?” tanyaku sambil menumpahkan uang dari kantong tabunganku. Bapak dan mamaku berpandangan. Bapakku lantas mengambil uang itu. Ia tahu itu masih kurang.
”Bapakmu itu juga guruku, guru ngajiku,” kata bapakku. ”Rasanya sebagai murid belum pernah aku membalas jasanya. Bapakmu tidak tahu, Win?”
”Bapak tidak tahu,” kata Wina.
”Tak apa-apa, nanti aku yang bicara sama bapakmu. Besok saya pasangkan. Kamu pilih aja yang mana. Tulis nama mamamu dan bintinya ya, nanti diukirkan di baturnya,” kata bapakku. (*)
Jakarta, 4 September 2022
—
HASAN ASPAHANI, Lahir di Sei Raden, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara, 1971. Kini menetap di Jakarta. Novelnya antara lain: ”Ya, Aku Lari” (2019), ”Laut Semua Suara” (2019), dan ”Persimpangan” (2019). Kini berkhidmat di Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta.
Artikel ini bersumber dari www.jawapos.com.