Gamelan sejak tahun 2018 diusulkan ke UNESCO sebagai warisan budaya tak benda, dan tiga tahun setelahnya, 15 Desember 2021, usulan itu disetujui.
—
PENYERAHAN sertifikat diakuinya gamelan sebagai warisan dunia dilakukan dengan penuh kegembiraan. Di Solo, pertunjukan digelar dengan megah lewat konser bertajuk Mahambara Gamelan Nusantara. Diadakan di halaman Balai Kota Surakarta 16 September lalu, sertifikat itu diterimakan melalui Kementerian Luar Negeri kepada 14 provinsi yang mendukung usulan, yakni Jawa Tengah, Jogjakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Lampung, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Pada satu sisi, diakuinya gamelan sebagai warisan budaya tak benda menjadi kebanggaan bahwa gamelan telah mampu mewakili ekspresi musik tradisi yang selama ini dipandang terseok di persimpangan zaman yang terus berkembang.
Di sisi lain, peristiwa itu membawa kita untuk membaca lebih jauh terkait persoalan-persoalan dalam kehidupan musik gamelan yang selama ini belum tuntas. Harus diakui, gamelan menjadi musik yang telah mengglobal, diajarkan di berbagai perguruan tinggi bergengsi dunia. Bahkan ada anekdot sederhana, seorang musisi musik hari ini dianggap ketinggalan zaman apabila tidak memasukkan unsur gamelan dalam karya-karyanya. Gong dalam musik gamelan juga menjadi simbol perdamaian dunia. Instrumen itu digunakan dalam setiap prosesi peresmian kenegaraan. Gong ditabuh, oleh pejabat atau penguasa, menandakan sebuah perhelatan besar resmi digelar. Gong dan instrumen gamelan lainnya berdiri anggun dalam berbagai kancah, begitu prestisius dan membanggakan. Pada perguruan tinggi seni musik (karawitan), terus mengupayakan agar lahir kajian-kajian ilmiah tentang gamelan, mereka menamakannya dengan ”karawitanologi”.
Dalam konteks keilmuan, gamelan terus tumbuh, ditandai dengan munculnya hasil-hasil penelitian terbaru, baik dalam bentuk jurnal maupun buku. Begitu juga wacana-wacana kekaryaan gamelan yang terus mengglobal, ditandai dengan banyaknya musisi lintas negara yang datang ke Jawa untuk belajar. Meski demikian, kita melupakan satu hal yang paling elementer, yakni nasib hidup para pelaku gamelan di Indonesia dan Jawa khususnya. Gegap gempita gamelan diakui sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO serasa hanya dinikmati oleh segelintir orang, atau lebih tepatnya kaum birokratis, sementara musisi (disebut pengrawit) di pelosok kampung masih hidup terseok serba kekurangan dan tak mendapat perhatian. Begitu juga nasib para pembuat gamelan (disebut pande atau empu). Karya mereka berdiri kukuh di samping pejabat dan kaum borjuis, namun kehidupan mereka sering kali masih akrab dengan kemelaratan.
Pekerjaan Rumah
Saya teringat karya komponis kenamaan (almarhum) I Wayan Sadra berjudul Otot Kawat Balung Wesi (1994), Daily (2004), dan Gong Dekonstruksi (2007). Tiga karya itu hampir menarasikan satu peristiwa yang sama, yakni kehidupan paradoks antara gamelan dan para pelakunya. Sebutlah karya Daily, misalnya. Gong yang bagi masyarakat Jawa dianggap sakral dan wigati mencoba didekonstruksi oleh Sadra. Begitu agungnya gong hingga dinamakan sebagai Kiai dan Nyai, menjadi tempat di mana sesaji dan doa-doa diletupkan. Namun, oleh Sadra, gong itu diseret di atas panggung. Menghasilkan derit suara yang menyayat. Setelah pertunjukan itu, Sadra menerima bertubi-tubi hujatan dan cacian. Ia dianggap memperlakukan gong yang sakral itu dengan semena-mena –kata lain dari kurang ajar. Melanggar norma dan pakem tradisi yang diyakini masyarakat –khususnya– karawitan Jawa.
Karya itu masih bertaut dengan Otot Kawat Balung Wesi dan Gong Dekonstruksi, di mana instrumen gong itu tak lagi ditata menggantung, namun terbalik dengan muka menghadap ke atas. Instrumen-instrumen gong itu kemudian dipukuli bertubi-tubi dengan tangan telanjang. Menghasilkan bunyi yang sesekali tampak sebagai tamparan, selebihnya adalah hantaman kemarahan. Apa yang sebenarnya terjadi? Pada satu sisi, Sadra hendak menyampaikan tentang ”bebaskan bunyi dari beban kulturnya”, bahwa gong, seberapa pun memiliki derajat yang agung, ia masih instrumen musik dan tak lebih dari itu. Sementara di sisi lain, Sadra hendak menyuarakan keberpihakannya pada para pande atau empu pembuat gamelan, yang mengabdikan dirinya secara total pada gamelan, namun tak juga mendapat hidup yang layak. Membuat gong itu tidak sederhana. Para pande itu sering kali harus berpuasa, menyepi, dan melakukan berbagai ritual agar diberi keselamatan selama membuat gong dan instrumen gamelan lainnya. Di besalen (tempat membuat gamelan), mereka berpeluh dengan bara api yang setiap saat dapat memercik ke wajah dan tubuhnya. Tidak ada asuransi kesehatan, apalagi jaminan ketenagakerjaan. Yang ada adalah pengabdian yang tulus dan puncak.
Karya-karya mereka melanglang buana ke berbagai penjuru dunia, dan tentu saja kehidupan mereka tak berubah, miskin, dengan risiko menua dan tenaga yang tak lagi sebakoh di kala muda untuk terus menempa besi-besi panas itu. Hal tersebut belum usai, ketika gamelan telah melembaga dalam bentuk jurusan (namanya jurusan karawitan) di institusi pendidikan formal, baik setingkat SMA maupun perguruan tinggi, hingga saat ini belum ditemukannya formulasi ciamik dalam membangun ekosistem profesi yang ideal. Lulusan kampus seni itu bergelar sarjana seni (karawitan). Profil lulusan adalah menjadi seorang pengrawit (musisi gamelan) yang andal dan profesional. Akan tetapi, pertanyaan ini sering saya ulang-ulang dalam berbagai forum, ke mana mereka harus mengadu saat tidak dibayar layak oleh seorang dalang? Ke mana mereka harus meratap saat mereka menua dan digantikan oleh pengrawit yang lebih muda karena mau dibayar lebih murah? Jangankan untuk urusan-urusan kronis itu, sekadar menentukan berapa jumlah ideal mereka harus dibayar saat bermain gamelan secara profesional saja tidak ada, atau mungkin tabu untuk dibicarakan. Aduh!! (*)
—
ARIS SETIAWAN, Etnomusikolog, pengajar di ISI Surakarta
Artikel ini bersumber dari www.jawapos.com.