“Kesenjangan dalam kapasitas setiap negara G20 dalam menghadapi pandemi dapat memperlambat kesiapsiagaan dan respons terhadap COVID-19,” kata Nadia dalam keterangan pers yang diterima ANTARA di Jakarta, Sabtu.
Nadia menuturkan tim Kelompok Kerja Kesehatan 3 (HWG3) sedang menyiapkan kuesioner analisis kesenjangan untuk kebutuhan manufaktur dan prioritas penyakit yang akan diisi oleh negara anggota G20.
Indonesia dan enam negara lain, yakni Argentina, Brazil, India, Arab Saudi, Turki, dan Afrika Selatan sudah menunjukkan ketertarikan untuk berkolaborasi membentuk ekosistem manufaktur dan riset vaksin, terapi atau pengobatan, dan diagnostik.
Baca juga: Pertemuan puncak menteri kesehatan G20 hasilkan enam tindakan utama
Upaya kolaboratif tersebut melibatkan semua negara anggota G20 dan organisasi internasional, yang berfokus membangun jejaring pusat penelitian dan kapasitas produksi di negara-negara anggota G20 dan memberikan akses dan kesetaraan untuk negara berpenghasilan menengah
Banyak platform teknologi pembuatan vaksin telah dikembangkan, termasuk mRNA, viral vector, adjuvanted protein sub unit, dan inactivated vaksin, khususnya dengan efektivitasnya yang tinggi. Namun, sebagian besar vaksin mRNA telah dikembangkan dan diproduksi oleh perusahaan farmasi di negara maju.
“Untuk bersiap menghadapi pandemi berikutnya dan ancaman kesehatan global, setiap negara harus memiliki akses dan kapasitas untuk mengembangkan vaksin, terapi, dan diagnostik terlepas dari status ekonomi dan geografisnya,” tutur Nadia.
Dalam meningkatkan akses global dan kapasitas produksi, berbagi pengetahuan, pengembangan kapasitas, dan transfer teknologi di antara negara-negara G20 menjadi penting. Salah satu contoh keberhasilan adalah produksi Molnupiravir–antivirus COVID-19 oral di negara berpenghasilan menengah ke bawah yang diaktifkan oleh The Medicines Patent Pool (MPP) Facility.
“Model seperti itu penting untuk memungkinkan transfer teknologi untuk kesiapsiagaan pandemi,” ujarnya.
Baca juga: G20 tekankan pentingnya Kesehatan Terpadu atasi resistensi antimikroba
Pembangunan pusat manufaktur vaksin, terapi, dan diagnostik merupakan upaya perluasan akses bagi negara berpenghasilan menengah ke bawah, dan penguatan jaringan ilmuwan global di bidang kedaruratan kesehatan masyarakat.
“Itu menunjukkan bahwa semua negara memiliki akses yang adil dan setara terhadap vaksin. Untuk mencapai hal ini, penting untuk memperkuat kapasitas penelitian dan pengembangan, mendiversifikasi rantai pasokan dan meningkatkan kolaborasi antar negara dan antara pusat penelitian publik dan swasta,” ujarnya.
Nadia mengatakan selain fokus pada vaksin, terapi, dan diagnostik, hal penting berikutnya adalah memastikan akses dan kapasitas yang adil dalam mengembangkan diagnostik dan terapi untuk memungkinkan akses yang lebih baik dalam menghadapi pandemi di masa depan.
“Tanpa diagnostik dan terapeutik, akan sulit untuk mencegah penularan lebih lanjut, mengobati secara dini, dan mencegah kematian,” ujarnya.
Sementara itu, Indonesia dan enam negara anggota G20 terutama yang berada di kawasan selatan telah menyepakati pembentukan jejaring pusat penelitian dan manufaktur untuk vaksin, terapi/pengobatan, dan diagnostik.
Baca juga: Tujuh negara berkolaborasi wujudkan pemerataan manufaktur farmasi
“Negara-negara G20 juga menyoroti pentingnya menghindari duplikasi dan fragmentasi yang tidak diperlukan dalam upaya kami untuk memperkuat jaringan penelitian dan pengembangan manufaktur vaksin, terapi, dan diagnostik secara global dan regional,” ujar Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemkes Lucia Rizka Andalusia.
Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Bambang Sutopo Hadi
COPYRIGHT © ANTARA 2022
Artikel ini bersumber dari www.antaranews.com.