tribunwarta.com – Bank Indonesia (BI) mengungkapkan ekonomi Indonesia akan terkena dampak dari adanya risiko resesi global pada 2023. Risiko stagflasi hingga resflasi harus diwaspadai dalam mengelola perekonomian tanah air.
Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo menjelaskan, perlambatan ekonomi global imbas dari ketegangan geopolitik telah memberikan dampak signifikan terhadap ekonomi dunia, mulai dari sektor perdagangan hingga investasi.
Gejolak ekonomi dunia tersebut tentu membawa pengaruh terhadap perekonomian tanah air. Mengingat, Indonesia merupakan negara dengan ekonomi terbuka, sehingga dampak dari gejolak ekonomi global turut membawa dampak pada perekonomian Indonesia.
Dody menyebut, risiko stagflasi hingga resflasi kemungkinan akan menghantui perekonomian di Indonesia pada tahun depan.
“Indonesia tak terlepas dari gejolak global yang dapat mengancam tekanan perlambatan ekonomi di Indonesia dan menimbulkan instabilitas pada perekonomian kita,” jelas Dody dalam Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Regional Kalimantan, Senin (12/12/2022).
“Risiko stagflasi – perlambatan ekonomi dengan inflasi tinggi, atau resflasi – ekonomi dan inflasi tinggi perlu diwaspadai,” kata Dody lagi.
Kendati demikian, BI menekankan bahwa semua risiko baik itu stagflasi dan resflasi masih bisa dimitigasi. Kuncinya adalah adalah, dengan mengkomunikasikan secara jelas arah kebijakan, sinergi dan inovasi.
“Itu adalah kunci ketahanan dan penyelamat ekonomi dari risiko krisis, dari risiko tekanan global di 2023,” jelas Dody.
Dody merinci, ketidakpastian yang masih akan menjadi tantangan pada perekonomian Indonesia, mulai dari memburuknya rantai pasok global akibat perang Rusia dan Ukraina. Sehingga menyebabkan harga energi dan pangan ikut naik dan laju inflasi mencapai level tertingginya.
Ketidakseimbangan suplai dan permintaan dunia tersebut, membuat BI memperkirakan inflasi dunia akan naik dari 6,4% (year on year/yoy) pada 2021, menjadi 9,2% (yoy) pada 2022.
“Ini merupakan inflasi tertinggi, bahkan negara maju sudah double digita di atas 10% di tahun ini,” jelas Dody.
Kenaikan inflasi yang tinggi membuat bank sentral di banyak negara maju juga harus mengetatkan kebijakan moneternya, dengan menaikan suku bunga acuan.
Oleh karena itu, tren kebijakan suku bunga dan inflasi yang tinggi secara global diperkirakan akan lebih lama berlangsung. Sehingga hal ini menjadi salah satu hal yang akan diwaspadai BI bersama otoritas terkait dalam mengambil kebijakan di tanah air.
Respon kebijakan moneter dalam rangka memerangi inflasi, kata Dody akan menjadi warna dalam perekonomian di tahun ini hingga tahun depan.
“Diperkirakan kombinasi moneter ketat, inflasi global akan turun 5,2% di 2023 dan kembali ke angka 3,8% pada 2024,” jelas Dody.
“Kalau semua negara maju menetapkan 2%, inflasi masih akan jadi ancaman di banyak bank sentral negara lain. Kita akan melihat kebijakan moneter bertahan relatif tinggi dalam 1-2 tahun ke depan,” kata Dody lagi.
Meski begitu, Dody memandang inflasi di tanah air mampu terjaga berkat sinergi antar otoritas, sehingga membawa level inflasi secara bertahap menurun, di tengah inflasi dunia yang tinggi.
Seperti diketahui, inflasi Indonesia secara tahunan (year on year/yoy) sejak September hingga November 2022 mengalami laju inflasi yang menurun.
Tercatat pada September 2022 inflasi sebesar 5,95%, turun menjadi 5,71% pada Oktober 2022 dan terakhir pada November 2022, inflasi Indonesia turun lagi menjadi 5,42% .