tribunwarta.com – Draft Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) telah resmi disahkan DPR RI dan Pemerintah sebagai Undang-Undang, Kamis (15/12/2022).
Draft ini menyebutkan bahwa peranan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam melakukan pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan akan semakin ketat. Bukan hanya menangani krisis sistem keuangan, KSSK juga akan menangani permasalahan lembaga jasa keuangan yang sistemik dalam kondisi stabilitas sistem keuangan yang normal maupun dalam kondisi krisis.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu mengatakan, dalam kondisi krisis, pelaksanaan Protokol Manajemen Krisis (PMK) tidak banyak berubah. KSSK tetap akan menjadi forum koordinasi antara Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan.
Dalam konteks penetapan krisis, KSSK akan mengadakan rapat untuk melakukan evaluasi dari masing-masing sektor. Kemudian, akan ditetapkan protokol krisis dari masing-masing otoritas sekaligus melakukan penetapan status krisis sebagai bahan rekomendasi kepada Presiden untuk penetapan status krisis tersebut.
“Dalam konteks manajemen krisis juga tidak berbeda, dalam konteks penetapan krisis, tentu KSSK melakukan rapat. Lalu melakukan evaluasi kondisi dari masing-masing sektor, moneter seperti apa, fiskal seperti apa, sektor jasa keuangan seperti apa. Lalu ditetapkan masing-masing otoritas protokol krisisnya, apakah dia masih normal, normal siaga atau kalau memang dipandang posisi krisis, untuk merekomendasikan kepada presiden, apakah itu krisis atau tidak,” jelasnya kepada CNBC Indonesia, Senin (19/12/2022).
Febrio menilai penetapan status krisis sebenarnya bukan hal yang abu-abu. Pasalnya kondisi krisis dapat dilihat dari berbagai indikator perekonomian dan sektor keuangan, misalnya terjadi depresiasi atau pertumbuhan ekonomi di angka negatif.
“Dalam konteks krisis, sebenarnya sangat kasat mata. Apa yang terjadi di perekonomian dan sektor keuangan, biasanya sangat kasat mata untuk ketika itu ditetapkan jadi krisis. Jadi, bukan sesuatu yang sifatnya grey area atau abu-abu. Biasanya pertumbuhan ekonomi negatif, itu biasanya indikator yang jelas sedang terjadi krisis,” katanya.
“Misalnya depresiasinya berapa puluh persen, itu bisa dianggap, indicator-indikator itu semuanya objektif ada di dalam protokol krisis masing-masing lembaga dan bisa dibahas secara objektif secara cepat dalam forum KSSK. Kalau memang dipandang secara tepat, maka diputuskan bersama, direkomendasikan krisis oleh presiden,” tambahnya.
Lebih lanjut, Febrio mengatakan melalui UU PPSK ini penetapan kondisi krisis akan semakin cepat dilakukan. Oleh karena itu, UU PPSK mengatur terkait penguatan koordinasi dalam rangka mempercepat pengambilan keputusan di saat krisis. Hal ini dilakukan dengan mendorong KSSK untuk memperkuat koordinasi antar lembaga bahkan hingga di level teknisnya.
“Jadi, itu belum ada berubah, itu sama. Yang berubah mungkin adalah kita harapkan sinergi antara institusi atau otoritas di dalam KSSK itu kita harapkan semakin kuat. Kita punya kepentingan, khususnya dalam kondisi yg menantang, dalam kondisi yang bergejolak, pengambilan keputusan di KSSK bisa terjadi dengan lebih kuat dan cepat,” ujarnya.
“Tapi, di dalam KSSK itu tidak harus principle-nya, tapi juga tim di bawah level deputi dan teknisnya kita harapkan bisa melakukan koordinasi yang lebih sering frekuensinya, dan lebih berkala,” lanjutnya.
Febrio menilai, upaya berbagi informasi antar lembaga menjadi penting dalam menjalankan tugas KSSK mendatang. Dalam rangka mempermudah proses berbagi informasi ini maka dibentuk 2 forum, yakni forum makroprudensial dan forum mikroprudensial. Melalui forum ini, diharapkan informasi yang dimiliki suatu otoritas bisa dibagi dengan kredibel kepada otoritas lainnya.
“Kita bangunkan ada 2 forum. Pertama forum makroprudensial untuk membahas kebijakan-kebijakan makroprudensial dan kondisi risiko makroprudensial. Sementara disisi lain, kita buatkan forum mikroprudensial. Dalam konteks melihat konteks lembaga-lembaga keuangan tertentu yang harus dipantau dengan lebih dekat,” paparnya.
“Sehingga kalau terjadi kondisi yang dimana harus diputuskan dengan segera kondisi penanganan permasalahan, atau masalah perbankan misalnya. Itu bisa dilakukan dengan cepat, karena data-data yang sudah sering dibahas itu sudah saling punya dan mengerti,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia menambahkan apabila terjadi deadlock saat proses pengambilan keputusan maka akan dilakukan proses berjenjang dalam menentukan keputusan. Pertama, dilakukan musyawarah mufakat terlebih dahulu, jika tidak menghasilkan keputusan maka akan dilakukan voting. Namun, jika tetap tidak menghasilkan keputusan maka Menteri Keuangan (Menkeu) sebagai koordinasi berhak memutuskan atas nama KSSK.
Jadi misalnya secara mufakat, kalau tidak tercapai musyawarah mufakat, maka bisa dilakukan voting. Tapi, kalau ketika dilakukan voting dan tidak ada keputusan, tidak bisa diambil dengan voting, maka di sana ada peran Menteri Keuangan sebagai koordinator yang bisa memutuskan atas nama KSSK,” jelasnya.
“Dalam konteks ini lagi-lagi, ini adalah bayangan, ini adalah kondisi ketika itu harus diambil keputusan dengan segera. Dalam konteks ini kita harapkan keputusan itu bisa diambil secara kredibel dan dilakukan dengan tata kelola yang baik,” tambahnya.