tribunwarta.com – Ahli Pidana dari Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Muhammad Arif Setiawan menilai, adanya izin Presiden RI dan perintah Jaksa Agung untuk dapat menahan seorang hakim agung merupakan problem yang belum terpecahkan.
Hal itu disampaikan Arif saat dihadirkan Tim Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai ahli pidana dalam sidang gugatan praperadilan yang diajukan oleh Hakim Agung nonaktif MA, Gazalba Saleh.
Pernyataan itu disampaikan Arif menjawab pertanyaan Ketua Tim Biro Hukum KPK Iskandar Marwanto perihal hubungan antar lembaga terkait penanganan sebuah perkara.
Sebab, KPK memiliki Undang-Undang sendiri yang independen dan dalam pelaksanaan tugas serta kewenangannya tidak terikat pada ketentuan administrasi.
“Bagaimana ahli memandang berkenaan dengan independensi KPK dikaitkan dengan konteks ketatanegaraan, hubungannya dengan presiden dan aparat penegak hukum yang lain?” tanya Iskandar dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Kamis (5/1/2023).
Mendengar pertanyaan tersebut, Arif mengaku tidak bisa memberikan pandangannya perihal ketentuan mana yang seharusnya digunakan dalam penanganan perkara terhadap seorang hakim agung.
Sebab, ia adalah ahli hukum acara pidana bukan ahli hukum administrasi pidana.
“Karena muaranya kami akan mempertanyakan ini, di dalil permohonan para pemohon, mereka memuat permohonan berkenaan dengan hubungan antar lembaga dalam konteks terkait dengan penahanan,” kata Iskandar.
Iskandar menjabarkan, dalam Pasal 17 Ayat 1 Undang-Undang Mahkamah Agung disebutkan bahwa Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota MA dapat ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Presiden.
Namun, ketentuan itu hanya dikecuali dalam hal tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau berdasarkan bukti permulaan yang cukup, disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.
“Dalam konteks perkara ini, ketika KPK akan melakukan penangkapan dikaitkan dengan perintah jaksa agung seperti apa?” tanya Iskandar.
Atas pertanyaan itu, Arif menekankan bahwa Pasal 17 Undang-Undang Mahkamah Agung ada dan berlaku sejak taun 1985.
Akan tetapi, dalam penyusunan Undang-Undang KPK tidak ada pembahasan spesifik bagaimana penanganan terhadap seorang hakim agung.
Di sisi lain, UU KPK hadir dengan kewenangan secara spesifik luar biasa perannya bahkan bisa mengambilalih perkara dari Kejaksaan Agung dan Kepolisian.
“Sehingga menjadi problem ketika ini posisi Jaksa Agung berkaitan dengan KPK bagaimana? KPK saja bisa mengambilalih perkara yang ditangani Kejaksaan Agung kok? Tapi menahan saja masa butuh perintah Jaksa Agung?” papar Arif.
“Ketika muncul Undang-Undang KPK itu terlewatkan untuk dibahas (penanganan terhadap Hakim Agung) dan ketika Undang-Undang KPK dibahas lagi tahun 2019 lagi itu pun tidak dibahas lagi,” ujarnya.
Oleh sebab itu, Arif menyatakan tidak bisa memberikan pandangannya berkenaan dengan mana prosedur yang harusnya diikuti apakah UU KPK atau UU MA.
“Karena ahli harus menjawab secara objektif tapi kalau ditanya masih (UU MA) berlaku, masih, itu lah problemnya yang belum terpecahkan,” ujar ahli pidana UII itu.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.