tribunwarta.com – Ahli pidana materil dan formil, Mahrus Ali dari Universitas Islam Indonesia (UII) mengatakan, penggunaan teori kausalitas dalam sebuah tindak pidana tidak boleh dilakukan.
Menurutnya, penggunaan teori tersebut justru menghilangkan asas keadilan. Dia pun mencontohkan kasus yang menimpa Habib Rizieq Shihab .
Hal itu diungkap Mahrus Ali saat dihadirkan sebagai ahli meringankan dari pihak Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi dalam sidang lanjutan dugaan pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis, 22 Desember 2022.
Mulanya, jaksa penuntut umum (JPU) menanyakan mengenai teori kausalitas yang dihubungkan dengan motif, perencanaan, dan pelaksanaan terhadap suatu tindak pidana.
Jaksa kemudian menganalogikan jika ada seseorang dengan motif tertentu dan menyampaikan kepada orang lain lalu mereka menyiapkan suatu tindakan sehingga dapat berjalan, apakah menjadi sebab menjadi timbulnya akibat jika ditinjau dari teori kausalitas.
“Dari segala perisiapan ini yang kemudian memungkinan terlaksanakanya perbuatan itu dengan lancar, apakah dilihat dari teori kausalitas, umpama teori adequat teori bahwa semua sarat adalah sebab timbulnya akibat, apakah semua ini bisa jadi sebab sebabnya ahli ?” tutur jaksa bertanya.
Mahrus kemudian menjelaskan bahwa penggunaan teori kausalitas tidak boleh digunakan lantaran menimbulkan ketidakadilan.
“Di mana letak tidak adilnya, semua perbuatan yang sekedar menjadi syarat itu disamakan dengan perbuatan yang sudah menjadi sebab,” tuturnya.
“Sehingga apa, pelaku yang melakukan perbuatan sebagai syarat dengan sebab itu sama masuk penjara, itu tidak adil,” ucapnya.
Mahrus kemudian mencontohkan kasus Habib Rizieq Shihab yang menurutnya tidak adil.
“Saya kasih contoh dalam kasus Habib Rizieq itu kan timbulnya kenaikan covid itu dalam putusan hakim dalam jaksanya juga itu karena ada kenaikan tingkat orang yang mengalami positif, tapi itu di daerah DKI Jakarta bukan di lokasi kejahatan,” tuturnya.
“Itu kan menjadi tidak clear harusnya ada hubungan kausal, orang ini katakanlah positif covid karena perbuatan Habib Rizieq tapi dia itu ndak, ahlinya mengatakan kami tidak punya data yang di Petamburan, kami punya data di DKI walaupun kami menjelaskan ya ini ga bisa confirm, bahwa naiknya tingkat Covid di Petamburan karena perbuatan Habib Rizieq, itu yang saya katakan hakim menginginkan teori conditio (kausalitas),” ucapnya.
Menurutnya, jika dalam kasus Habib Rizieq itu memang konsisten menggunakan teori kausalitas maka banyak orang yang akan di penjara dalam kasus tersebut.
“Kalau mau konsisten dengan teori itu semua orang yang membantu HRS datang ke Indonesia masuk penjara semua dia, semua orang yang ratusan ribu itu yang nunggu di bandara dia menjadi apa, menjadi perbuatan sebagai syarat karena tanpa itu tidak mungkin terjadi Covid, artinya apa harus masuk penjara kalau mengikuti teori ini,” tuturnya.
“Maka kemudian teori Von Buri (conditio kausalitas) ini harus ditinggalkan kenapa, dia logis tapi tidak adil, hukum itu logis tapi harus adil, maka apa gunakanlah teori mengindividualisasi,” ucapnya.
Lebih jauh, Mahrus menerangkan jika dalam konteks kasus kematian maka harus dilihat pendapat ahli mengenai penyebab kematian tersebut.
“Misal ada korban mati matinya karena di racun arsenik misalnya, sianida siapa yang taruh, kapan ditaruh itu kan ada penjelasan ilmiahnya. Itu kemudian disimpulkan timbulnya akibat karena perbuatan ini. Jadi motif itu adalah konteksnya niat dan sengaja bukan kausalitas,” tuturnya.
“Orang itu ketika dia motif pasti berniat, setelah punya niat baru dia sengaja. Niat itu tidak sama dengan sengaja, karena sejahat apapun niat tidak boleh dilarang karena masih disini (abstrak) niat itu baru bisa menjadi sengaja ketika diwujudkan dalam perbuatan yang dilarang,” ucapnya.
Sebagai informasi dalam teori kausalitas terbagi tiga pertama Teori Conditio Sine Qua dari Von Buri, kedua Teori Generalisir yang didalamnya terdapat Teori Adequat dari Triger, dan ketiga Teori Individualisasi.***