tribunwarta.com – Kereta Cepat Jakarta-Bandung ditargetkan mulai beroperasi dan digunakan masyarakat pada pertengahan 2023.
Berbagai wacana untuk menarik penumpang kereta cepat mulai muncul. Salah satunya, menutup operasional Kereta Api (KA) Argo Parahyangan .
Wacana ini sontak menuai pro dan kontra . Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran (Unpad), Arief Anshory Yusuf mengatakan, pemerintah jangan terburu-buru mematikan operasional KA Argo Parahyangan saat kereta cepat Jakarta-Bandung beroperasi.
”Biarkan konsumen memilih dahulu kereta cepat atau Argo Parahyangan . Bila betul nanti kereta cepat lebih baik (dari kecepatan, praktikalitas, dan keterjangkauan), maka konsumen akan beralih secara alamiah. Jangan terburu-buru kalau belum jelas terbukti. Kebijakan jangan hanya dibikin berbasis asumsi,” katanya.
Arief menilai, layanan kereta cepat dan Argo Parahyangan tidak persis sama dan ada heterogenitas dalam kebutuhan konsumen pengguna.
Argo Parahyangan memberikan transportasi dari Stasiun Bandung ke Stasiun Gambir, tanpa harus transit menggunakan moda transportasi pengumpan (feeder).
Menurut Arief, jika pemerintah tetap memaksakan untuk menutup layanan Argo Parahyangan , secara ekonomi, sangat mungkin akan banyak penumpang beralih ke moda transportasi lain. Salah satunya, angkutan shuttle bus.
Untuk itu, menutup layanan Argo Parahyangan yang mampu mengangkut sekira 8.000 penumpang per hari untuk beralih ke layanan kereta cepat dengan target angkut 30.000 penumpang per hari bukan menjadi solusi yang baik.
Ketua Dewan Profesor Unpad itu menjelaskan, sebagai monopoli jasa perkeretaapian di Indonesia, pemerintah melalui PT KAI perlu mementingkan kepentingan konsumen ketimbang pemilik modal. Menghilangkan Argo Parahyangan berpotensi menyengsarakan konsumen.
Alternatif solusi yang bisa dilakukan, kata Arief, salah satunya meningkatkan aksesibilitas kereta cepat dan meningkatkan efisiensi dan kenyaman dari transportasi pengumpan agar penumpang dapat beralih secara alamiah ke kereta cepat.
Arief mengatakan, pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung jangan sampai menjadi de-development. De-development merupakan pembangunan yang belum mampu meningkatkan kesejahteraan. Dampak utama de-development adalah kesejahteraan masyarakat stagnan bahkan berkurang meski pembangunan infrastruktur dilakukan.
Selain itu, pembangunan kereta cepat juga harus mempertimbangkan inklusivitas. Menurut Arief, pembangunan yang baik bukan semata meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengaplikasi kan kecanggihan teknologi, juga mampu memberikan pemerataan.
Pengoperasian Kereta Cepat Jakarta-Bandung dengan tiket yang mahal dan menutup layanan Argo Parahyangan yang lebih murah, akan sulit memberikan pemerataan, terutama bagi masyarakat yang memiliki anggaran terbatas.***