tribunwarta.com – Organisasi Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Cabang Makassar, Sulawesi Selatan, menilai bencana banjir pada zona rawan di sejumlah kecamatan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan sudah seharusnya masuk kategori bencana nasional.
“Kalau sudah tiap tahun banjir itu ada sesuatu. Masalahnya sama, bahkan tiap periode. Begitu hujan dengan intensitas tinggi di atas 100 mililiter pasti banjir. Apakah salurannya memang sudah tidak sanggup menampung debit air sungai,” ungkap Koordinator PPI Makassar, Mukhsan Putra Hatta kepada wartawan, Senin malam.
Berdasarkan data BPBD Makassar per 26 Desember 2022, jumlah rumah yang terdampak banjir di tiga kecamatan yakni Kecamatan Manggala, Tamalanrea dan Biringkanaya tersebar di 19 kelurahan sebanyak 3.334 unit rumah dengan 9.167 jiwa atau sebanyak 2.695 keluarga ikut terdampak.
Sedangkan jumlah penyintas atau pengungsi di tiga kecamatan tersebut tercatat 1.668 jiwa atau 434 keluarga tersebar di 28 titik pengungsian sejak banjir melanda pemukiman mereka pada 24-26 Desember 2022.
Bila melihat data tersebut, kata Mukhsan, seharusnya sudah berstatus bencana nasional dan pemerintah pusat melalui Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan mengambil alih untuk melakukan penanganan secara serius agar bencana tersebut tidak terus berulang.
“Karena sampai kapan pun bila masih mengandalkan pemerintah daerah masalah bencana ini tidak akan selesai. Sebab, sumber utama dari banjir itu debit air bertambah serta tertutupnya aliran air ke Sungai Tallo lalu kembali ke pemukiman warga,” ucapnya.
Dosen Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin ini menjelaskan, dari hasil penelitian secara ilmiah fenomena banjir di Blok 10 Perumnas Antang dan sekitarnya menjadi lokasi langganan banjir berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) yakni Sabbeng dan Kajenjeng. Meski begitu belum diketahui pasti apakah itu anak sungai atau bekas galian.
Ketika debit air meningkat karena dipicu intensitas hujan lebat selama beberapa hari, lanjut dia, maka lokasi tersebut terkepung air dan menjadi sasaran menumpuknya air, mengingat wilayah tersebut memang awalnya sebagai tempat resapan air. Begitu pula DAS di sekitarnya tidak mampu menampung debit air.
Mukhsan menyarankan ada dua pola penanggulangan berkelanjutan yakni secara struktural dan non struktural. Menurutnya, kejadian ini dianggap bencana nasional, dan penanganannya harus nasional. Begitupula pendanaannya tentu besar sesuai peruntukan normalisasi daerah DAS demi penguatan benteng pertahanan masuknya air ke pemukiman.
“Memang perlu negara yang tanggulangi, bukan berarti Pemerintah Kota tidak sanggup, tapi ini demi kemanusiaan mengantisipasi kejadian susulan, itu kalau pola struktural. Dari hasil penelitian akademis kami, daerah ini masuk wilayah resapan air,” tuturnya.
Sedangkan untuk pola non struktural, kata dia, masyarakat sekitar diajarkan mitigasi bencana seperti mempersiapkan diri, mencari lokasi aman mengungsi, penyediaan alat evakuasi serta kelengkapannya, memantau informasi BMKG, termasuk kesiapan bantuan kemanusiaan pemerintah setempat.
“Karena tidak bisa dipungkiri banjir tetap terjadi dan telah menjadi resiko bermukim di area resapan air. Masyarakat harus memperkuat mitigasi bencana, mempersiapkan diri, mengamankan perabotan, mengungsi dimana dan tahu kapan air naik, karena keselamatan jiwa dulu diutamakan,” papa dia menekankan.