tribunwarta.com – Pengacara korban gagal ginjal akut akibat obat batuk sirup menyebut bahwa Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tidak memiliki standar jelas dalam mengukur cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG).
Kuasa hukum korban, Awan Puryadi mengatakan, kasus gagal ginjal akut pada anak mulai bermunculan pada September-Oktober.
Namun, pada saat itu, BPOM dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memberikan keterangan yang berubah-ubah. Hal ini menjadi alasan korban gagal ginjal akut menggugat Kemenkes dan BPOM.
“Salah satunya misalkan disampaikan bahwa BPOM ini tidak punya standar untuk mengecek, mengetes cemaran EG dan DEG,” kata Awan saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Selasa (13/12/2022).
Menurut Awan, semestinya terdapat standar internasional yang mengukur cemaran racun EG dan DEG dalam obat. Di Amerika Serikat misalnya, terdapat panduan untuk mengetes cemaran dua zat itu.
Awan mempertanyakan alasan tidak adanya standar penggunaan EG dan DEG selama puluhan tahun. Menurutnya, jika sejak awal pemerintah menetapkan standar itu, peristiwa kematian ratusan anak tidak terjadi.
Hal ini menjadi alasan keluarga korban terdampak obat sirup yang tercemar EG dan DEG memasukkan Kemenkes dan BPOM sebagai tergugat, selain perusahaan produsen obat dan penyuplai bahan baku obat.
“Karena ada statement-statement yang dengan jelas menyatakan ‘kami tidak ada standar’ ‘kami tidak ada protokol’ dan itu memang tidak ada,” ujar Awan.
Awan menuturkan, keluarga korban menilai Kemenkes dan BPOM telah abai dan dinilai harus bertanggung jawab.
Ia mengatakan, EG dan DEG masuk dalam daftar zat berbahaya milik Kemenkes maupun Kementerian Perindustrian. Semestinya, BPOM mengawasi keberadaan zat berbahaya itu dengan cara membuat standar pada perusahaan.
Selanjutnya, perusahaan produsen obat seharusnya mengetahui bahwa zat berbahaya itu tidak boleh digunakan. Perusahaan juga harus melakukan uji dan kemurnian agar mendapatkan izin edar.
“Harusnya perusahaan menguji mutu dan kemurnian. Harusnya sudah ditemukan dari awal,” ujarnya.
Sebagai informasi, sebanyak 199 anak meninggal dunia akibat obat sirup cair yang tercemar etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DG).
Data tersebut merujuk pada data Kementerian Kesehatan per 16 November 2022. Adapun jumlah korban yang menderita gagal ginjal akut sebanyak 324 anak.
Sejumlah keluarga korban obat sirup beracun kemudian menggugat sembilan pihak yang dinilai bertanggung jawab.
Mereka adalah Kemenkes dan BPOM. Kemudian, PT Afi Farma Pharmaceutical Industry dan PT Universal Pharmaceutical Industries selaku produsen obat.
Selanjutnya, lima perusahaan supplier bahan baku obat yakni, PT Megasetia Agung Kimia, CV Budiarta, PT Logicom Solution, CV Mega Integra, dan PT Tirta Buana Kemindo.
Para penggugat meminta agar tergugat membayar ganti rugi material dan immaterial. Selain itu, hakim juga diminta menyatakan para tergugat melakukan perbuatan melawan hukum.
Namun, gugatan tersebut dihapus karena jumlah keluarga korban yang memberikan kuasa bertambah. Gugatan nantinya akan direvisi untuk kemudian diajukan kembali.
“Kemungkinan Januari pertengahan baru sidang lagi yang dihadiri semua perwakilan korban,” tutur Awan.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.