tribunwarta.com – Peneliti dari Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme Universitas Indonesia Stanislaus Riyanta menyatakan narapidana kasus terorisme yang tidak mengikuti program deradikalisasi perlu dilakukan pengawasan khusus.
Hal itu disampaikan Riyanta terkait analisis kasus bom bunuh diri di Markas Polisi Sektor Astanaanyar, Bandung, Jawa Barat, Rabu (7/12) pukul 08.20 WIB.
Dia menjelaskan berdasarkan analisis pelaku bom bunuh diri bernama Agus Sujatno, yang dari hasil penyelidikan merupakan mantan napi terorisme yang pada 27 Februari 2017 ditangkap karena kasus bom panci yang diledakkan di Taman Pandawa, Kelurahan Arjuna, Kota Bandung.
Pada saat penangkapan pada 2017 diketahui Agus sudah merencanakan untuk melakukan aksi di Mapolda Jawa Barat. Agus Sujatno mempunyai keahlian membuat bom dari bahan TATP (triaceton triperoxide).
Agus Sujatno ditahan selama 4 tahun sejak 14 Maret 2017 dan bebas pada 14 Maret 2021. Agus Sujatno alias Agus Muslim alias Abu Muslim dan Soleh Abdurrahman alias Gungun alias Abu Fursan ini merupakan bagian dari Jamaah Ansharut Daulah yang berafiliasi dengan ISIS.
Menurut Riyanta, Agus saat menjalani hukuman tidak mau mengikuti program deradikalasi. Namun dengan karakter pelaku tersebut seharusnya ada pengawasan yang sangat ketat pasca pelaku bebas dari hukuman, mengingat bagi narapidana yang tidak mau mengikuti program deradikalisasi kemungkinan kembali melakukan aksi teror cukup besar.
Kata dia, Agus Sujatno selama menjalani masa tahanan adalah napiter yang sangat keras dan menolak untuk mengikuti deradikalisasi. Selain itu karena sifatnya yang keras, Agus Sujatno ditempatkan di Super Maximum Security di Nusakambangan.
Bahkan pada saat menjalani masa tahanan, Agus Sujatno tidak mau berkomunikasi dengan sipir atau petugas lain.
“Deradikalisasi yang merupakan program sukarela tidak bisa dipaksakan kepada Agus Sujatno,” ujarnya.
Dia menyatakan, terkait dengan simbol atau pesan yang ditemukan di sepeda motor yang diduga dibawa pelaku sebelum aksi bunuh diri, yang menunjukkan perlawanan terhadap KUHP, hal itu dapat dinilai hanya sebagai momentum yang dimanfaatkan pelaku.
“Kelompok JAD dalam berbagai aksinya menargetkan polisi sebagai sasaran utama. Hal ini terjadi karena polisi melakukan upaya penegakan hukum terhadap teroris, sehingga polisi dianggap sebagai thaghut. Selain polisi, tercatat JAD juga kerap kali menjadikan tempat ibadah sebagai sasaran aksi mereka,” jelasnya.
Menurut Riyanta, pemerintah tidak bisa sendirian dalam mendeteksi, mencegah, dan menangani aksi teror. Pelibatan masyarakat luas sebagai komponen negara yang paling besar harus dilakukan.
“Kesadaran masyarakat terkait radikalisme dan terorisme adalah musuh bersama harus dikuatkan sehingga ruang bagi proses radikalisasi di masyarakatbisa semakin terbatas dan aksi teror bisa dicegah,” harapnya.