tribunwarta.com – Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) mengirimkan surat mengenai KUHP Indonesia yang baru.
Namun, Wakil Menteri Kementerian Hukum dan HAM ( Wamenkumham ) Edward Omar Sharif Hiariej baru menerima surat itu.
Pasalnya, surat itu tidak diterima pemerintah Indonesia, melainkan ke Komisi II DPR. Sehingga, surat baru sampai ke Kemenkumham pada 25 November 2022.
“Surat itu kami terima pada tanggal 25 November dan tidak ke pemerintah melainkan ke Komisi III DPR. Jadi, ya, sangat terlambat”, katanya.
Dalam surat itu, PBB menawarkan bantuan dalam menyusun beberapa pasal dalam KUHP baru, terutama persoalan HAM.
Namun, Edward menjelaskan surat PBB datang pada tanggal 25 November, sedangkan RKUHP telah mendapatkan persetujuan tingkat pertama pada 24 November 2022.
“Jelas (soal pasal) yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi tersebut, kami sudah mendapatkan masukan dari masyarakat,” katanya.
Edward menyarankan agar tidak ada kesalahpahaman dalam menafsirkan pasal-pasal KUHP , pemerintah akan terus melakukan sosialisasi dengan penegak hukum dan masyarakat.
Sehingga, kata Edward, pasal-pasal itu tidak disalahgunakan dan berjalan sesuai standar parameter yang diharapkan.
Juru bicara Kemli Teuku Faizasyah mengatakan telah bertemu dengan perwakilan PBB untuk membahas mengenai KUHP .
“Alasan (pemanggilan adalah) karena ini juga merupakan salah satu tata hubungan berdiplomasi. Ada baiknya adab yang berlaku adalah dalam tindak aksi perwakilan asing ataupun PBB di suatu negara, jalur komunikasi akan selalu ada untuk membahas berbagai isu. Jadi kita tidak menggunakan media masa sebagai alat untuk menyampaikan satu hal yang belum diverifikasi,” katanya.
Teuku berharap PBB , maupun perwakilan asing, tidak buru-buru menilai KUHP hanya berdasarkan informasi yang belum jelas.
Sebelumnya, PBB menyatakan keprihatinan terhadap pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) Indonesia yang baru.
Pasalnya, PBB juga menilai KUHP baru mengancam atas kebebasan sipil.
Sehingga mereka meminta pemerintah Indonesia untuk segera merevisi UU itu. Jika tidak, dikhawatirkan dapat mengakibatkan erosi kebebasan pers, privasi, dan hak asasi manusia.
KUHP mengatur penghinaan terhadap presiden, bendera nasional, dan lembaga negara sebagai pelanggaran.
“ PBB prihatin bahwa beberapa pasal dalam revisi KUHP bertentangan dengan kewajiban hukum internasional Indonesia sehubungan dengan hak asasi manusia,” kata kantor lokal PBB dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada hari Kamis 8 Desember 2022.
“Beberapa artikel berpotensi mengkriminalisasi karya jurnalistik… Yang lain akan mendiskriminasi, atau berdampak diskriminatif terhadap perempuan, anak perempuan, anak laki-laki dan minoritas seksual,” katanya menambahkan.
Kemenkumham mengatakan KUHP baru akan berlaku tiga tahun lagi.***