KUHP Baru, Harapan di Tengah Ketidakpastian Penegakan Hukum Pidana?

KUHP Baru, Harapan di Tengah Ketidakpastian Penegakan Hukum Pidana?

tribunwarta.com – Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) secara resmi telah disahkan pemerintah dan DPR RI menjadi undang-udang (UU) pada 5 Desember 2022. Dengan disahkannya KUHP ini, Indonesia akhirnya memiliki peraturan hukum pidana yang bersifat generalis yang dirancang sendiri setelah dinyatakan merdeka sejak tahun 1945.

KUHP lama merupakan warisan dari zaman Hindia Belanda. Seiring perkembangan teknologi, wawasan, kebudayaan/kebiasaan, dan tatanan masyarakat, KUHP lama tersebut dipandang sudah tidak relevan lagi, khususnya untuk semangat penegakan hukum pidana di Indonesia.

Sebagaimana dimuat di dalam laman Kompas.com, sumber utama KUHP lama adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda atau Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch. Kitab itu disusun tahun 1881 dan diberlakukan di negara Belanda tahun 1886. Aturan hukum itu kemudian diterapkan di Hindia Belanda atas titah raja pada 1 Januari 1918. Belanda kemudian membawa peraturan tersebut ke Indonesia karena pada saat itu Indonesia dijajah Belanda.

Perjalanan penyusunan KUHP baru

KUHP baru secara historis sudah harus ada sejak Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan. Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 menyebutkan bahwa “hukum dan lembaga-lembaga peninggalan kolonial masih berlaku sepanjang belum dibentuk hukum dan lembaga baru”.

Proses pembahasan RKUHP selalu naik-turun sejak pertama kali diinisiasi tahun 1958 dengan berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) yang sekarang berubah nama menjadi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Tahun 1993, rumusan praktis pertama tentang RKUHP sudah dikeluarkan tim perumus. Akan tetapi rumusan yang diusulkan ditolak dan tidak dilanjutkan oleh menteri kehakiman saat itu.

Pembahasan RKUHP kemudian dilanjutkan tahun 1998. Akan tetapi progres pembahasan tidak mengalami kemajuan. Akhirnya pada rentang tahun 2001-2004, RKUHP resmi masuk menjadi program legislasi nasional di bawah kepemimpinan Menteri Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra.

Kemudian, program legislasi RKUHP menjadi program legislasi nasional prioritas pada rentang tahun 2004-2007 di bawah kepemimpinan Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaluddin.

Tahun 2019, Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama dengan Komisi III DPR-RI merampungkan pembahasan RKUHP menjadi undang-undang. Terjadi penolakan baik dari mahasiswa, akademisi, praktisi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Mereka menentang penetapan dan pengesahan RKUHP.

Presiden Jokowi akhirnya memerintahkan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, untuk menarik draf RKUHP dari pembahasan dengan Komisi III DPR-RI dan membatalkan pengesahan RKUHP guna menjaring lagi masukan-masukan dari masyarakat dengan harapan RKUHP semakin baik dan dapat diterima masyarakat.

Bisa menjadi angin segar

Beberapa ahli hukum pidana menyebutkan RKUHP merupakan sebuah keniscayaan dan harus segera disahkan agar proses penegakan hukum pidana di Indonesia semakin berkeadilan dan sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat saat ini.

Beny Rianto, salah satu guru besar fakultas hukum Universitas Diponegoro menyebutkan bahwa penetapan RKUHP harus disegerakan karena hukum pidana saat ini sudah mengalami pergeseran paradigma. Pergeseran paradigma dalam ajaran hukum pidana saat ini menurut dia yakni dari paradigma keadilan retributif (balas dendam dengan penghukuman badan) menjadi paradigma keadilan yang mencakup prinsip-prinsip keadilan korektif (bagi pelaku), restoratif (bagi korban) dan rehabilitatif (bagi keduanya).

UU KUHP yang baru tentunya memberikan angin segar bagi penegakan hukum pidana di Indonesia. Salah satu hal yang menarik yang dari KUHP yang baru menurut Dr Surastini Fitriasih SH MH adalah adanya alternatif sanksi bagi pelaku pelanggaran tindak pidana.

Menurut Prof Edward Omar Sharif Hiariej (Wakil Menteri Hukum dan HAM), semenjak Presiden Jokowi memutuskan untuk membatalkan pengesahan RKUHP tahun 2019, Kemenkumham kemudian proaktif menerima masukan dari berbagai kalangan, seperti dari masyarakat koalisi sipil, akademisi, praktisi, dan LSM. Meskipun pada kenyataannya tidak semua masukan dari para pihak diterima dan dirumuskan di dalam setiap norma RKUHP, masukan tersebut tentunya dipakai sebagai dasar konstruktif pembuatan setiap norma aturan di dalam RKUHP.

Sampai dengan disahkannya KUHP, koalisi masyarakat sipil menyorot beberapa hal. Berdasarkan data yang dimuat di laman kompas.com, sorotan mencakup 11 poin, yaitu:

  1. Pasal terkait living law atau hukum yang hidup di masyarakat.
  2. Pasal tentang hukuman mati.
  3. Larangan penyebaran paham yang tak sesuai Pancasila.
  4. Penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara.
  5. Contempt of court atau penghormatan pada badan peradilan.
  6. Kohabitasi atau hidup bersama di luar perkawinan.
  7. Ketentuan tumpang tindih dalam Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
  8. Larangan unjuk rasa tanpa izin.
  9. Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
  10. Ancaman hukum bagi koruptor yang terlalu ringan.
  11. Korporasi sulit dihukum.

Menurut Edward Omar, tuntutan koalisi masyarakat sipil sudah diakomodasi dalam KUHP sehingga UU itu jadi lebih adaptif untuk proses penegakan hukum pidana di Indonesia.

Pengesahan KUHP itu menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Akan tetapi pemerintah tidak bisa menjadi alat pemuas semua kalangan. Pemerintah dan wakil rakyat sudah sepakat untuk membuat sebuah UU yang baik dan jelas berkaitan dengan hukuman bagi pelaku pidana. Aturan tersebut harus disambut secara positif dan dengan tangan terbuka.

Masyarakat dan semua kalangan berharap bahwa KUHP bisa berjalan dengan baik sehingga asa keadilan sesuai dengan paradigma hukum modern bisa dirasakan dan diterima dengan baik. Tugas berat pemerintah di depan adalah sosialisasi dan komunikasi publik yang baik kepada semua entitas masyarakat sehingga semua entitas dan lapisan masyarakat bisa paham dan mengerti aturan baru di dalam KUHP.

Pemerintah juga harus menunjukkan bahwa dengan KUHP yang baru, penegakan hukum di Indonesia akan lebih transparan, berkeadilan dan bertanggung jawab. Dengan demikian istilah hukum bisa dibeli, hukum hanya tajam ke bawah tumpul ke atas, tidak ada lagi di tengah-tengah masyarakat.

Selain itu, pengawasan dan evaluasi implementasi KUHP menjadi salah satu kunci efektivitas penerapan KUHP dalam proses penegakan hukum. Dengan demikian, lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif harus duduk bersama dalam melaksanakan proses pengawasan dan evaluasi penerapan KUHP.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *