tribunwarta.com – Krisis ekonomi yang dihadapi Sri Lanka sejak 2022 terus meluas dan berujung pada kebangkrutan dan kekacauan di seluruh negeri. Akibatnya, tidak sedikit anak-anak yang menjadi korban atas krisis tersebut.
Kini, makin banyak anak-anak yang lebih sering sakit karena tidak cukup makan dan nutrisi. Tak hanya itu, anak-anak di Sri Lanka juga terpaksa putus sekolah massal.
Seorang ibu di Sri Lanka bernama Priyanthika, yang sehari-hari mendapatkan uang dengan menjual kembang api, mengatakan terpaksa menghentikan sekolah anak-anaknya.
Meskipun sekolah di Sri Lanka gratis, makanan tidak disediakan. Jika ditambah dengan biaya seragam dan transportasi, pendidikan adalah kemewahan yang tidak mampu lagi ditanggung oleh Priyanthika.
Sebagaimana diketahui, harga makanan di Sri Lanka mencapai rekor tertinggi ketika inflasi mencapai titik tertinggi hampir 95%. Akibatnya dalam beberapa hari, tidak ada seorang pun di keluarga Proyanthika yang dapat makan.
Priyanthika menyebut ia membutuhkan sekitar 400 rupee per hari atau sekitar Rp 17.000 untuk setiap anak jika mereka ingin kembali ke sekolah.
“Semua anak-anak ini dulu pergi ke sekolah setiap hari. Saya tidak punya uang untuk menyekolahkan mereka sekarang,” katanya sambil menyeka air mata, dikutip BBC.
Setidaknya dari beberapa anak, hanya satu anak yang dapat ia sekolahkan. Ialah Malki yang berusia 10 tahun. Ia masih bisa bersekolah karena sepatu dan seragamnya masih muat.
Namun, adik perempuannya Dulanjalee terbaring di tempat tidur sambil menangis, kesal karena tidak bisa ikut sekolah seperti Malki.
Sementara itu, Prakrama Weerasinghe, kepala sekolah Sekolah Menengah Pusat Kotahena Kolombo, telah melihat kesulitan ekonomi yang dihadapi anak-anak setiap hari.
“Ketika hari sekolah dimulai, ketika kami mengadakan apel pagi, anak-anak cenderung pingsan karena kelaparan,” katanya.
Pemerintah mengatakan mereka telah mulai membagikan beras ke sekolah-sekolah tetapi beberapa sekolah mengaku mereka tidak menerima bantuan apapun dari pemerintah. Weerasinghe mengatakan kehadiran siswa turun hingga 40% sebelum dia terpaksa meminta guru untuk membawa makanan tambahan agar siswa tetap kembali ke kelas.
Joseph Stalin adalah Sekretaris Jenderal Persatuan Guru Ceylon. Dia yakin pemerintah sengaja tidak menyadari meningkatnya jumlah keluarga yang menyerah pada pendidikan anak-anaknya karena biaya.
“Guru kami yang melihat kotak makan siang yang kosong,” katanya. “Korban sebenarnya dari krisis ekonomi ini adalah anak-anak. (Pemerintah) tidak mencari jawaban untuk masalah ini. Sudah dilihat dan diidentifikasi oleh UNICEF dan lainnya, bukan oleh pemerintah Sri Lanka.”
UNICEF mengatakan akan semakin sulit bagi orang Sri Lanka untuk makan sendiri di bulan-bulan mendatang, di mana inflasi harga barang-barang pokok seperti beras terus melonjak tinggi sehingga sulit didapat oleh keluarga ekonomi ke bawah.
Akibatnya, akan lebih banyak anak di seluruh negeri yang dipaksa untuk berhenti menghadiri kelas hingga berhenti sekolah secara total.