tribunwarta.com – Wakil Ketua Komnas HAM Abdul Haris Semendawai menilai bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) yang ada saat ini belum mengakomodasi kepentingan korban tindak pidana secara optimal.
“Dalam KUHAP, korban belum menjadi pihak yang diprioritaskan. Sebab, orientasi peradilan pidana lebih mencari alat bukti guna membuktikan kesalahan tersangka atau terdakwa,” kata Semendawai dalam diskusi daring bertajuk “Audit KUHAP: Pemulihan Korban Pihak Ketiga dalam Sistem Peradilan Pidana”, Kamis (22/12/2022).
Semendawai menjelaskan, pemulihan korban berdasarkan KUHAP masih sangat terbatas berdasarkan pada putusan atau vonis hakim.
Selain itu, pemulihan korban juga dinilai masih sangat jarang diterapkan.
“Sementara korban menghendaki agar segera memperoleh penanganan atas kerugian yang dialaminya dari tindak pidana tersebut,” imbuh dia.
Oleh karena itu, Komnas HAM mendorong perlindungan dan pemulihan hak korban tindak pidana perlu mendapatkan porsi khusus.
Utamanya, lanjut Semendawai, dalam pembaruan hukum acara pidana Indonesia ke depan.
Lebih lanjut, Semendawai mendorong KUHAP yang baru perlu mengakomodasi keberadaan lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK) juga pemulihan tanpa digantungkan pada proses tindak pidana.
“KUHAP yang baru perlu mengakomodir keberadaan dana bantuan korban serta fitur-fitur lain yang memperkuat posisi korban dalam sistem peradilan pidana,” tutur Semendawai.
Sebelumnya, Tim Peneliti Audit KUHAP Anugerah Rizki Akbari menyoroti soal hak tersangka dan terdakwa mendapatkan fasilitas penerjemah atau juru bahasa dalam proses peradilan.
Anugerah menilai KUHAP saat ini masih belum sempurna dalam mengatur hal tersebut.
“Pada bagian lainnya ada hak tersangka dan terdakwa untuk mndapatkan juru bahasa dan penerjemah. Pada bagian ini pengaturan dalam KUHAP belum sempurna,” ucapnya dalam Webinar Series Peluncuran Penelitian “Audit KUHAP” secara virtual, Rabu (21/12/2022).
Ada beberapa hal yang disorot Anugerah. Pertama terkait kualitas dari penerjemah yang diberikan kepada tersangka atau terdakwa.
Kedua, KUHAP masih belum mengatur soal kewajiban menerjemahkan berbagai dokumen hukum.
“Penerjemah hanya dilihat sebagai proses mencari informasi dari tersangka dan oleh karenanya yang bersangkutan diberikan kesmepatan hak untuk mendapatkan penerjemah. Tapi proses penerjemahan dokumen peradilan masih belum diatur,” ujar Anugerah.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.