Ketika BPOM Protes Disalahkan BPKN soal Gagal Ginjal, Sebut Pemeriksaan Sewenang-wenang

Ketika BPOM Protes Disalahkan BPKN soal Gagal Ginjal, Sebut Pemeriksaan Sewenang-wenang

tribunwarta.com – Badan Pengawas Obat dan Makanan ( BPOM ) protes terhadap hasil temuan dan rekomendasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) atas kasus gagal ginjal akut (acute kidney injury/AKI).

Adapun temuan itu didasarkan pada investigasi Tim Pencari Fakta (TPF) BPKN. Terdapat sembilan temuan yang menghasilkan empat rekomendasi untuk diberikan kepada Presiden Joko Widodo.

Salah satu temuan BPKN adalah ketidakharmonisan komunikasi dan koordinasi antar instansi di sektor kesehatan dan farmasi dalam penanganan lonjakan kasus gagal ginjal akut .

Lalu, ada kelalaian otoritas sektor kefarmasian dalam pengawasan bahan baku obat dan peredaran obat. Kemudian, penindakan oleh penegak hukum yang dilakukan kepada industri farmasi tidak transparan.

Sebut pemeriksaan sewenang-wenang

Atas hasil temuan tersebut, Kepala BPOM Penny K. Lukito lantas menyebut BPKN tidak bisa melakukan pemeriksaan sewenang-wenang soal peran BPOM dalam kasus gagal ginjal akut.

Pemeriksaan dan investigasi yang dilakukan BPKN hendaknya sama dengan lembaga auditor lain, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Ombudsman RI.

Biasanya lembaga auditor meminta penjelasan pihak terperiksa sebelum membuat kesimpulan. Adapun dalam hasil rekomendasi BPKN, Penny menilai hasil itu tidak mencantumkan penjelasan BPOM terkait cara kerja pengawasan yang dilakukan lembaganya.

Di sisi lain, BPOM sudah menjelaskan cara kerja pengawasan dan hal-hal lain secara gamblang hingga sore hari pada satu pertemuan.

“Kami melihatnya, apa yang sudah kami jelaskan tidak tergambarkan dari rekomendasi tersebut,” kata Penny dalam konferensi pers di Gedung BPOM, Jakarta Pusat, Senin (26/12/2022).

“Biasanya pada institusi seperti BPK, Ombudsman, auditor itu tidak bisa melakukan pemeriksaan dengan sewenang-wenang karena ini untuk kepentingan bangsa,” lanjut Penny.

Tidak dapat hasil rekomendasi

Penny menyatakan, respons dari pihak terperiksa bisa menghasilkan solusi untuk perbaikan bersama ke depannya.

Dengan begitu, hasilnya tidak hanya fokus untuk menyalahkan pihak-pihak terperiksa, namun fokus untuk memberikan solusi.

Sayangnya, lanjut Penny, BPOM pun belum mendapat salinan atau tembusan dari hasil rekomendasi yang dibuat BPKN.

“Kami juga tidak dikasih tembusan, tidak ada rekomendasi hasil pemeriksaan. Jadi harus ada hasil pemeriksaan yang dibahas kembali sebelum disimpulkan, harus meminta respons lagi,” tutur Penny.

Tanya legalitas TPF BPKN

Tak hanya itu, ia mempertanyakan legalitas TPF BPKN karena pemeriksaan yang dianggapnya sewenang-wenang.

Seharusnya kata Penny, entitas pemeriksa punya tata cara yang berlaku adil (fair) bagi pihak terperiksa, yaitu meminta respons lembaga yang bersangkutan dalam investigasi sebelum membuat kesimpulan.

Dalam kasus gagal ginjal, kata Penny, BPOM sudah melakukan serangkaian penindakan. BPOM sudah mencabut izin edar sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) untuk 6 perusahaan farmasi.

BPOM juga mencabut sertifikat Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) untuk 2 distributor pihak penyalur bahan baku obat tidak sesuai standar farmasi (pharmaceutical grade).

“Itu namanya pemeriksaan yang berimbang dan fair dan bertujuan mencari solusi untuk kepentingan bangsa ini. Jadi ada solusi sudah ada keputusan komitmen bersama apabila itu ada langkah perbaikan,” jelas Penny.

Sudah lakukan tugas sebaik-baiknya

Atas kerja-kerja tersebut, Penny merasa BPOM sudah bekerja sebaik-baiknya dalam kasus gagal ginjal akut. BPOM pun sudah menyampaikan celah-celah pengawasan mana saja yang perlu diperbaiki dengan adanya kasus keracunan obat sirup tersebut.

“BPOM sudah melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan standar yang berlaku,” sebut Penny.

Sebagai informasi, kasus gagal ginjal akut yang menyerang anak-anak dipicu oleh kandungan zat kimia etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) dalam obat sirup anak-anak. Padahal, zat murni tersebut mutlak tidak boleh digunakan sebagai bahan baku obat.

Data terakhir Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat, ada 324 anak yang meninggal, setelah kasus tersebar di 27 provinsi.

Sejak akhir November 2022, Kementerian Kesehatan mengumumkan kasus ini sudah selesai karena tidak ada lagi kasus tambahan, setelah serangkaian tindakan yang diterapkan oleh pihak-pihak terkait.

Kendati begitu, nasib keluarga korban dan korban yang masih dirawat belum jelas. Korban gagal ginjal mengalami kerusakan saraf akibat mengonsumsi obat sirup tersebut.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *