Kedai kopi di Hainan menjembatani budaya Indonesia dan China

Kedai kopi di Hainan menjembatani budaya Indonesia dan China

tribunwarta.com – Di dalam sebuah kedai kopi di Xinglong, Provinsi Hainan, China selatan, aroma kopi Indonesia yang khas berbaur dengan udara, menjadi ciri tempat yang dihuni warga keturunan Tionghoa di Indonesia yang pulang ke China.

Li Shihong, bersama istrinya, Shen Hongmei, mengelola kedai kopi tersebut selama 20 tahun. Ibu Li merupakan keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia, dan Ibu Shen lahir di Thailand. Seperti orang tua mereka, minum kopi menjadi salah satu kebiasaan sehari-hari bagi pasangan ini.

Sejak 1950-an, banyak warga keturunan Tionghoa, yang nenek moyangnya merantau ke luar negeri, berbondong-bondong pulang ke China dari Indonesia, Malaysia, Vietnam, Thailand, maupun Jepang dan banyak di antaranya menetap di Xinglong.

Perkebunan Xinglong pada saat itu menjadi tempat berkumpulnya warga keturunan Tionghoa yang pulang ke China dan berbagai kebudayaan berbaur di sini, menjadikan kebudayaan lokal yang unik dan kompleks, misalnya budaya kopi yang dibawa oleh warga keturunan Tionghoa dari Indonesia dan negara Asia Tenggara lain.

“Sebelumnya proses membuat kopi di sini sedikit sederhana, kami meningkatkan kualitas dan aroma kopi lokal serta membuka kedai kopi kami sendiri. Di sini, hampir semua rumah tangga suka minum kopi, begitu pun keluarga kami,” ujar Shen Hongmei.

Paman (kakak dari ibu) Li yang lebih tua, Lin Shihe (81), lahir di Pulau Bangka, Indonesia. “Saya tiba di Xinglong pada 4 Maret 1960,” kenang Lin yang masih ingat dengan jelas momen tersebut setelah puluhan tahun berlalu.

Tak lama usai tiba di Xinglong, Lin mendapat pekerjaan di perkebunan Xinglong dan kemudian dia dipilih untuk mengikuti pendidikan tenaga kesehatan.

Karier Lin sebagai dokter pun dimulai. Berkat dirinya yang sangat rajin belajar, Lin mendapat kesempatan untuk belajar di Rumah Sakit Umum Tentara Pembebasan Rakyat China hingga akhirnya menjadi seorang dokter bedah. Sebelum pensiun, Lin sempat menjabat sebagai pimpinan di sebuah rumah sakit.

Paman Li yang lebih muda, Chen Defu (79), pulang ke China saat masih berusia 10 tahun bersama ibunya. Karena keluarganya memiliki banyak alat cetak kue, tetangga mereka kerap meminjam alat-alat cetak itu dari keluarganya untuk membuat kue Asia Tenggara yang khas.

Chen menyumbangkan dua set alat cetak kue milik keluarganya ke Museum Sejarah Keturunan Tionghoa China, “Kami berharap semangat generasi terdahulu warga keturunan Tionghoa yang pulang ke China dapat dikenal lebih banyak orang dan diwariskan dengan baik.”

Ketika ditanya apa semangat dari kebudayaan tersebut, Lin dan Chen menyatakan “Toleransi, terus maju, rajin bekerja, dan antusias terhadap kehidupan. Kami diterima orang lain dengan keramahtamahan, kami pun menerapkan sikap toleransi terhadap orang lain.”

Li dan Shen sangat setuju dengan pendapat paman-paman mereka. Walaupun bisnis dan pendapatan kedai kopinya cukup baik, pasangan ini tidak berencana untuk membuka kedai lagi di tempat lain, karena kampung warga keturunan Tionghoa ini sudah mengakar bagi mereka.

Selain sibuk bekerja di kedai kopi, Li dan Shen gemar bermain bulu tangkis dan berwisata pada waktu luang mereka. “Kami menikmati kehidupan kami yang sangat bahagia.”

Putri mereka telah lulus kuliah S2 di Inggris dan kini bekerja di Shanghai, kota metropolitan di China timur. Walaupun belum pernah tinggal di Indonesia, aroma kopi dan masakan Indonesia yang lezat sering menggugah selera putri mereka, membuatnya pulang kampung ketika dapat mengambil cuti.

Kisah warga keturunan Tionghoa yang pulang ke China di Xinglong, bersama semangat mereka, tidak pernah pudar seiring berlalunya waktu. Generasi-generasi baru di Xinglong akan lebih rajin bekerja serta bersikap inklusif dan toleransi serta membuka lembaran baru tentang kisah mereka sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *