tribunwarta.com – Kasus penculikan anak yang dialami seorang anak berisial AM menyadarkan perhatian publik bahwa peristiwa penculikan anak masih saja terjadi hingga saat ini.
Kasus tersebut mengajak seluruh orang tua dan keluarga lebih berhati-hati dan lebih memperhatikan keberadaan anak-anak sehingga anak-anak tetap terus terlindungi dan termonitor.
Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia ( KPAI ) tahun 2021 terdapat 2.982 pengaduan kasus kekerasan anak .
“Dari jumlah itu, jumlah paling banyak ialah kasus kejahatan seksual terhadap anak, yakni 859 kasus,” kata pengamat jaminan sosial Timboel Siregar dalam keterangan di Jakarta, Kamis, 5 Januari 2023.
Selanjutnya, kata Timboel, kasus pornografi anak dan kejahatan siber sebanyak 345, kasus eksplotasi anak secara ekonomi dan/atau seksual (147), serta korban kejahatan lainnya, termasuk penculikan dan penjualan anak.
“Data ini menunjukkan anak-anak rentan menjadi korban kejahatan, baik oleh orang yang dikenal maupun tidak dikenal,” ujar Timboel yang juga Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI).
Dikatakan, kekerasan anak terus meningkat, namun perlindungan belum optimal. Salah satunya adalah perlindungan dalam penjaminan JKN .
Masalah muncul karena ada Pasal 52 ayat (1r) Peraturan Presiden No. 82 tahun 2018 yang menyatakan pelayanan kesehatan akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, dan tindak pidana perdagangan orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Merujuk ke Pasal 52 ayat (1r) ini berarti anak-anak yang mengalami sakit akibat kasus penculikan, kekerasan, penganiayaan, dan perdagangan anak tidak dijamin oleh JKN .
Orang tua yang sedih karena kejadian yang menimpa anaknya, harus kembali terbebani oleh pembiayaan kesehatan anaknya.
Memang benar, ada LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) yang diberi tanggungjawab menanggung biaya kesehatan korban penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, dan tindak pidana perdagangan orang, namun masyarakat tahunya program JKN (LPSK tidak banyak diketahui masyarakat).
Lalu kehadiran LPSK tidak ada di seluruh Indonesia, kemudian proses di LPSK harus melalui proses di kepolisian, pembiayaan JKN akan lebih komprehensif dan berkelanjutan dibandingkan dengan pembiayaan yang dilakukan LPSK, dsb.
Semoga Pasal 52 ayat (1r) dihapus pada saat Pemerintah merevisi Perpres no. 82 tahun 2018 sehingga seluruh peserta JKN , khususnya anak-anak dapat penanganan Kesehatan yang komprehensif dan berkelanjutan.***