tribunwarta.com – Indonesia berpeluang akan mendapatkan keuntungan yang besar-besaran atas kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). Kebijakan itu adalah pelarangan ekspor bijih bauksit ke luar negeri dimulai pada Juni 2023.
Presiden Jokowi menginginkan kegiatan ekspor bauksit tidak dilakukan secara raw material atau mentah, melainkan dengan pengembangan hilirisasi di dalam negeri. Aksi Presiden Jokowi ini dinilai akan mendatangkan keuntungan yang besar bagi Indonesia.
Asal tahu saja, produksi bijih bauksit Indonesia mencapai sekitar 40-an juta ton per tahun, di mana saat ini baru 6 juta ton digunakan untuk industri dalam negeri.
Kelak, dengan hilirisasi bauksit, Indonesia tak lagi mengekspor secara mentah melainkan hilirisasi itu sendiri bisa menghasilkan produk antara (intermediate product) alumina dalam bentuk smelter grade alumina (SGA) dan chemical grade alumina (CGA).
“Yang kemudian dapat diolah kembali menjadi ingot aluminium dan bahan-bahan kimia untuk menghasilkan produk-produk manufaktur lainnya seperti blok mesin kenderaan, konstruksi, peralatan rumah tangga, kemasan, dan lainnya,” terang Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rizal Kasli kepada CNBC Indonesia, Dikutip Selasa (27/12/2022).
Rizal menyatakan, melalui produk hilir itu, perkiraan nilai tambah yang akan terjadi sampai produksi ingot alumunium bisa mencapai 14 kali lipat – 16 kali lipat dibandingkan jika Indonesia menjualnya dalam bentuk bijih.
“Apalagi bila dilanjutkan menjadi barang manufactur seperti kenderaan, produk rumat tangga, elektronik, dan produk lainnya akan menghasilkan nilai tambah yang cukup besar terutama penyerapan tenaga kerja, pajak,” tandas Rizal Kasli.
Indonesia sebelumnya juga sukses mengembangkan hilirisasi nikel di dalam negeri. Kelak, dengan hilirisasi, komoditas nikel bisa digunakan sebagai bahan baku industri baterai kendaraan listrik.
Dari hilirisasi nikel, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi memprediksi hilirisasi nikel bisa mendatangkan nilai tambah mencapai US$ 33 miliar atau Rp514 triliun (kurs Rp15.600 per US$)