tribunwarta.com – Jaksa Penuntut Umum (JPU) mencecar mantan Ketua Dewan Pembina Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) Novariyadi Imam Akbari perihal gaji yang didapatkan sebagai petinggi di Yayasan tersebut.
Imam dihadirkan Jaksa sebagai saksi kasus penggelapan dana bantuan untuk keluarga korban kecelakaan pesawat Lion Air Boeing 737 Max 8 nomor penerbangan JT 610 dengan terdakwa pendiri sekaligus mantan Presiden Yayasan ACT, Ahyudin.
“Untuk payroll-nya itu saudara dari mana? Ke mana dibayarkan sebagai Senior Vice President? Saudara dulu gajinya dulu rate berapa?” tanya Jaksa dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (13/12/2022).
“Di (Bank) Muamalat,” jawab Imam.
Lantas Jaksa pun mendalami mekanisme penerimaan gaji Imam sebagai mantan Dewan Pembina dari Yayasan ACT.
“Bank Muamalat Indonesia ya? itu saudara menerima per bulan secara menyeluruh sekaligus atau dicicil, bertahap?” tanya Jaksa.
“Mestinya per bulan tapi karena kondisi keuangan bisa dipotong, bisa dicicil,” jelas Imam.
“Variasinya berapa itu? Kalau berdasarkan kondisi keuangan? Variasi gaji saudara, nominal gaji yang saudara terima itu berapa?” cecar Jaksa.
Atas pertanyaan itu, Imam sempat terdiam beberapa saat. Kemudian, Imam mengaku bahwa ia tidak mengetahui secara pasti gaji yang diterima dari Yayasan ACT.
“Saya jujur tak pernah dapat slip, jadi ya pasrah saja dipotong berapa?” jawab Imam.
Mendengar jawaban tersebut, Jaksa pun menunjukkan transaksi gaji yang dibayarkan Yayasan ACT ke rekening pribadi milik Imam.
Jaksa lantas ke depan majelis Hakim untuk memperlihatkan daftar gaji di depan Majelis Hakim, Iman dan penasihat hukum Ahyudin.
“Saudara dibayarkan di Bank Muamalat Indonesia ya, kami tunjukan sebagai barang bukti pembayaran saudara ya, biar saudara tahu berapa dapatnya,” ujar Jaksa.
Lantas Jaksa pun membacakan gaji puluhan juta yang diterima Imam berulang kali dalam satu bulan.
“Payroll ini pernah dicetak enggak? Saudara pernah mengetahui enggak? Ini atas nama saudara Novariyadi Imam A di tanggal 24 bulan Juni 2021 payroll-nya Rp 100.000, kemudian di 25 Juni Rp 17.500.000,” papar Jaksa.
“Kemudian di bulan Juli Rp 44.500.000, kemudian di bulan Juli lagi itu Rp 44.700.000, Juli lagi Rp 17.500.000 dan Juli lagi Rp 11.500.000,” ujar Jaksa melanjutkan.
Setelah dipaparkan daftar gaji tersebut, Imam malah menjawab bahwa ia bekerja di Yayasan ACT bukan untuk mencari uang.
“Jadi sekali lagi, sejak awal saya masuk saya hanya dibayar sekian puluh ribu, meninggalkan pekerjaan yang lama ini sekaligus penjelasan bahwa saya niat ke ACT tidak untuk mencari harta,” kata Imam.
“Yang ditanyakan penuntut umum, Saudara menerima pembayaran seperti itu?” timpal Hakim
“Ya kalau sesuai dengan iya saya terima,” jawab Imam.
“Artinya, Saudara tidak tetap ya gaji bulanannya, apakah itu juga diterima oleh pengurus yang lain Vice President yang lain, bahkan juga presidennya?” tanya Jaksa.
“Saya enggak tahu,” kata Imam.
Dalam kasus ini, Ahyudin didakwa melakukan penggelapan dana bersama Presiden ACT periode 2019-2022, Ibnu Khajar dan eks Senior Vice President Operational ACT, Hariyana Hermain.
Tiga terdakwa itu, disebut Jaksa menyelewengkan dana bantuan dari Boeing untuk keluarga korban kecelakaan pesawat Lion Air sebesar Rp 117.982.530.997.
Atas perbuatannya, Ahyudin, Ibnu, dan Hariyana didakwa melanggar Pasal 374 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 372 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.