tribunwarta.com – Wakil Menteri Keuangan di era 2010-2014 Anny Ratnawati membantah jika selama ini pandemi Covid-19 disebut sebagai penyebab utama perlambatan ekonomi.
Menurutnya, jauh sebelum pandemi Covid-19 terjadi, perlambatan ekonomi sudah mulai terasa sejak terjadinya perang dagang antara Amerika dan China dari tahun 2004 yang menyebabkan terjadinya supply shock atau guncangan pasokan.
“Sebetulnya perlambatan ekonomi itu bukan karena pendemi Covid dong, sebelum pandemi Covid perlambatan ekonomi itu sebetulnya sudah ada tanda-tanda, dari mana? Ketika ada trade war antara Amerika dan Cina. Trade war ini buka baru sebetulnya, dari 2004 itu sudah mulai eskalasi karena Amerika merasa trade defisitnya bertambah pesat terhadap Cina dan ini menyebabkan ada ada rasa harusnya kan perdagangan itu membahagiakan semua orang, kira-kira begitu,” paparnya dalam acara “Dialog Pakar: Peran APBN dalam Rangka Pemulihan Ekonomi Global dan Antisipasi Risiko Global”, Senin (12/12/2022).
Lebih lanjut Anny menjelaskan bahwa kondisi akibat perang dagang kemudian diperparah dengan pandemi Covid. Setelah itu, pandemi Covid direlaksasikan, kemudian terjadi perang Rusia Ukraina dan dibarengi dengan lockdown di Cina yang berkepanjangan. Namun, dari semua itu, Anny mengatakan guncangan pasokanlah yang menjadi sebab awal mulanya terjadi gejolak ekonomi global.
“Tetapi, dari semua isu ini sebetulnya yang unik yang betul-betul unik mungkin perlu kita catat bahwa krisis global atau terjadinya pergolakan di dalam ekonomi dunia dimulai dari supply shock,” tambahnya.
Anny menambahkan dengan adanya guncangan dalam penyediaan barang bahkan sampai bermasalah maka akan terjadi 2 amcaman besar ekonomi, yakni resesi dan inflasi.
“Kalau kita orang ekonomi mengatakan dari sisi agregat supplynya, dari supply shocknya yang digoyang, kalau supply shocknya digoyang, kemudian supply shocknya bermasalah kerepotannya dua kita dapat resesi atau perlambatan ekonomi growth plus inflasi, itu pasti terjadi,” jelasnya.
“Hanya beruntungnya ketika supply shock terjadi di pandemi Covid, kita kan juga diam di rumah jadi demandnya tidak tereskalasi, sehingga shock supply-nya berkurang karena perusahaan juga tutup kan perusahaan juga harus diam demandnya berkurang jadi inflasi tidak terlalu terasa, perlambatan ekonomi terasa,” tambahnya.
Namun, ia mengatakan ketika pandemi mulai mereda, guncangan pasokan tersebut mulai terasa karena adanya kenaikan permintaan akibat ekonomi yang mulai pulih kembali.
“Ketika pandemi direlaksasikan kita bergerak supply shocknya terasa karena kemudian butuh crude, perlu gas, perlu komoditas dan lain sebagainya sehingga demand yang tereskalasi tadi, catatan Pak Made betul, karena semua negara melakukan ekspansi fiskal dan ekspansi moneter bersamaan,” terangnya.
Anny mengatakan ekspansi fiskal dilakukan pemerintah melalui perelaksasi APBN guna menjaga konsumsi masyarakat. Namun di saat bersamaan, ada banyak Bank Sentral yang melonggarkan suku bunganya, namun di sisi penawarannya tidak mampu memenuhi permintaan yang tinggi.
“Fiskalnya ekspansif moneternya ekspansif tetapi supply sidenya tidak bisa mengejar kecepatan dari permintaan,” ujarnya.
Anny menggambarkan kondisi tersebut terjadi di Amerika, dimana pertumbuhan ekonomi melambat dan inflasinya tinggi.
“Maka kombinasinya biasanya adalah pertumbuhan ekonomi yang tidak akan sebesar tidak akan tinggi, melambat tetapi inflasinya bisa high inflation yang terjadi di Amerika,” jelasnya.