tribunwarta.com – Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan hingga 31 bulan beruntun, namun kondisi ini tidak membuat cadangan devisa (cadev) yang solid.
Padahal, pundi-pundi eksportir tersebut bisa membantu memperkuat ketahanan eksternal Indonesia dalam menghadapi guncangan tahun depan dan dapat memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah.
Diketahui, alih-alih membawa pulang dolar dan menyimpan di bank lokal, eksportir lebih memilih menyimpan Dolar Amerika Serikat (AS) di bank luar negeri.
Presiden Joko Widodo sendiri tampaknya sudah gerah dengan hal ini. Melihat fenomena ini, Jokowi meminta Bank Indonesia (BI) segera membuat kebijakan yang dapat menahan dolar hasil ekspor di dalam negeri.
Sejalan dengan arahan tersebut, BI telah mengadakan pertemuan dengan Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) untuk dimintai keterangan perihal DHE ini.
Ketua GPEI Benny Soetrisno membeberkan sejumlah keluhan dan kebutuhan yang dirasakan para eksportir terkait permintaan untuk menempatkan Dolarnya di dalam negeri.
“Sudah, kami dari GPEI sudah diajak bicara dengan BI mengenai hal ini dan kami jelaskan kita sebagai eksportir itu memang hasilnya forex, tentu kita juga membutuhkan pendanaan forex, kita butuh instrumen forex juga, artinya selama ini US dollar,” ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Senin (26/12/2022).
Dalam pertemuan tersebut, GPEI juga menyampaikan keluhannya terkait kebijakan local currency settlement (LCS) yang kurang menguntungkan di lapangan. Pasalnya, berdasarkan perhitungan untung rugi, pembayaran menggunakan Dolar AS jauh lebih menarik bagi para eksportir.
“Walaupun BI sekarang sudah ada 4 instrumen yaitu local currency settlement tanpa dolar, tapi masalahnya itukan tidak wajib. Artinya kalau ekspor dari China maunya US Dollar ya kita tetap harus nyari US dollar walaupun teorinya sih kita eksportir hanya menerima renminbi (Yuan China) kita bayarnya pakai rupiah itu bisa-bisa aja,” ujarnya.
“Nanti kita hitung itu selisihnya, cost-nya, akan kita hitung kalau kita membayar pakai Dolar, nah kalau selisihnya atau instrumen itu tidak begitu menarik, lebih menarik Dolar pasti kita kembali lagi, baik eksportir maupun importirnya pakai Dolar,” tambahnya.
Selain itu, GPEI juga menyampaikan bahwa sulit untuk mempertahankan dolar sebagai cadangan devisa. Pasalnya, keperluan konversi dolar ke rupiah hanya untuk keperluan yang memang membutuhkan rupiah. Namun sisanya, dolar tersebut harus diputar lagi untuk keperluan produksi.
“Jadi sisanya nggak banyak, kalau banyak pun nggak bisa tahan lama, pasti akan dikembalikan lagi impor bahan baku atau bahan penolong,” jelas Benny.
Benny menyayangkan diskusi dengan BI ini masih sebatas penggalian informasi saja. Eksportir baru diajak diskusi terkait permintaan dan kebutuhannya, belum sampai pada tahap tawaran kebijakan konkret yang seharusnya dapat didiskusikan lebih jauh.
“Jadi kita masih hanya diskusi umum yang itu dipakai bahan untuk mereka timnya memberitahu kepada otoritas lebih atas,” pungkasnya.