Asal Kebut UU ala Jokowi & DPR, Baru Mulai Langsung Revisi!

Asal Kebut UU ala Jokowi & DPR, Baru Mulai Langsung Revisi!

tribunwarta.com – Puluhan Undang-Undang (UU) yang disahkan pada pemerintahan Presiden Joko Widodo, atau Jokowi, mengundang pro-kontra hingga dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diajukan judicial review.Puluhan UU tersebut dikritik karena dinilai cacat hukum dalam pembahasannya, termasuk tanpa melibatkan publik. Beberapa UU tersebut juga dikritik karena hanya dibahas dalam kurun waktu puluhan hari serta hanya menguntungkan segelintir kalangan.Dalam catatan Mahkamah Konstitusi (MK), ada 386 perkara pengajuan UU selama lima tahun terakhir atau sejak 2019. Perkara pengajuan UU tersebut tentu saja beragam dan tidak hanya UU yang lahir di era Presiden Jokowi. Namun, UU yang lahir di era Presiden Jokowi juga tidak sedikit, Bahkan, yang baru ditetapkan setahun terakhir.

Beberapa UU yang lahir setelah 2019 dan sudah digugat ke MK di antaranya adalah UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Cipta Kerja, UU Ibu Kota Negara, UU Corona, dan UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.

UU lain yang digugat adalah UU Perkawinan, UU Minerba, UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, UU tentang Provinsi Sumatera Barat, UU tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional, dan UU tentang Perlindungan Data Pribadi.

Terbaru, Dewan Pers akan mengajukan gugatan judicial review terhadap UU KUHP yang baru berusia seminggu.

Pengamat Politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio menjelaskan ada tiga faktor mengapa banyak UU yang justru diajukan ke MK oleh masyarakat. Selain ada UU yang pembahasannya terlalu singkat, beberapa UU juga dinilai terlalu berpihak kepada penyelenggara negara.

“Ada memang UU yang pembahasannya cepat sehingga masyarakat melihat ini tidak maksimal dan banyak kekurangan. Banyak UU yang juga dinilai tidak berpihak kepada masyarakat secara keseluruhan. Persoalan lain adalah urgensinya. Ada yang terlalu terburu-buru dan mepet sehingga kurang bisa mendapat masukan banyak pihak,” tutur Hendri, kepada CNBC Indonesia.

UU yang mendapat sorotan paling tajam dalam tiga tahun terakhir adalah UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. UU yang menjadi fondasi puluhan UU lain dan ratusan peraturan turunan di banyak sektor ini dikritik keras sejak diajukan.

UU tersebut dinilai terlalu pro-pengusaha dan merugikan banyak pihak, termasuk buruh.Terdapat juga UU yang mendapat sorotan tajam karena prosesnya dinilai terlalu terburu-buru dan tertutup seperti UU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pengajar komunikasi politik di London School of Public Relations (LSPR)Arif Susanto mengatakan banyaknya perkara pengajuan judicial review terhadap UU membuktikan jika politik hukum Indonesia masih buruk.

“Proses politik hukum kiat mengisolasi diri dari pandangan masyarakat, pandangan yang berbeda, dan proses mendengarkan pihak lain. Mendengarkan tidak hanya memberi ruang untuk berbicara tetapi mendengarkan pendapat yang beda,” tutur Arif, kepada CNBC Indonesia.

Lemahnya civil society, terlalu kuatnya hubungan eksekutif-legislatif, dan tidak kredibelnya partai oposisi membuat prose politik hukum menjadi lemah.

“Tidak ada contoh persekongkolan yang lebih jahat pada akhir periode 2014-2019 selain UU KPK,” imbuhnya.

Dia menambahkan civil society yang lemah terjadi karena banyaknya aktivis di masa lalu yang masuk ke pemerintahan serta lemahnya kontrol media.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *