tribunwarta.com – Anggota DPR RI Luqman Hakim meyakini Mahkamah Konstitusi (MK) akan menolak uji materi atau “judicial review” Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terkait sistem pemilu.
“Saya haqqul yakin, MK tidak akan mengabulkan sebagian atau keseluruhan dari petitum yang diajukan para penggugat,” kata Luqman dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Dengan bekal keilmuan dan integritas, lanjut dia, para hakim MK pasti memahami dengan komprehensif seluruh petitum yang diajukan para penggugat dan akibat-akibat yang akan ditimbulkan bagi pelaksanaan Pemilu 2024.
“Dengan demikian, maka pelaksanaan Pemilu 2024 tetap akan menggunakan sistem proporsional terbuka. Tidak akan berubah menjadi proporsional tertutup sebagaimana keinginan para penggugat,” ujarnya.
Menurut dia, para pemohon kurang penguasaan ilmu kepemiluan dan gagal memahami alur pemilu sehingga petitum yang diajukan pemohon dalam gugatan perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 itu terlihat irasional, absurd, dan kacau.
Ia mencontohkan pemohon meminta agar Pasal 420 UU Pemilu huruf (c) diubah menjadi “Hasil pembagian sebagaimana dimaksud pada huruf b diurutkan berdasarkan nomor urut.”
Adapun, lanjut dia, naskah asli pasal tersebut berbunyi, “Hasil pembagian sebagaimana dimaksud pada huruf b diurutkan berdasarkan jumlah nilai terbanyak”.
Selain itu, ujarnya, pemohon meminta agar bunyi Pasal 422 UU Pemilu diubah menjadi “Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Pemilu di suatu daerah pemilihan”.
Di mana, naskah asli Pasal 422 UU Pemilu berbunyi: “Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan ditetapkan berdasarkan suara terbanyak yang diperoleh masing-masing calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di suatu daerah pemilihan yang tercantum pada surat suara”.
Ia menilai apabila petitum Pasal 422 UU Pemilu tersebut dikabulkan oleh MK, maka akan menimbulkan ketidakpastian siapa anggota partai politik yang berhak menempati kursi parlemen yang diperoleh partai politik tersebut.
Bahkan dengan petitum itu, kata Luqman, partai politik yang memperoleh kursi di suatu daerah pemilihan (dapil) memiliki kewenangan mengirimkan anggotanya yang sedianya tidak menjadi calon legislatif untuk menempati kursi parlemen yang diperoleh partai.
“Selain itu, Petitum yang diajukan para penggugat terhadap Pasal 422 bertentangan dengan ketentuan afirmasi kepada calon parlemen perempuan sebagaimana diatur pada Pasal 245 dan Pasal 246 UU Pemilu,” katanya.
Berkaca pada hal tersebut, ia berpendapat perlu adanya aturan yang membatasi waktu pengajuan uji materi ke MK terhadap UU Pemilu agar tidak terjadi perubahan-perubahan aturan pemilu di level undang-undang ketika tahapan pemilu sudah mulai berjalan.
“Ibarat pertandingan sepak bola, maka seluruh aturan harus selesai dibuat sebelum pertandingan dimulai. Tidak lucu apabila pertandingan sepak bola sudah berjalan pada menit ke-15 kemudian otoritas penyelenggara mengumumkan perubahan aturan yang langsung berlaku untuk menit ke-16,” kata Luqman.