Penolakan terhadap rencana pendirian gereja HKBP Maranatha Cilegon oleh sejumlah orang yang menamakan diri mereka “Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon” mendapat banyak sorotan. Apalagi, kemudian beredar video yang menunjukkan Wali Kota Cilegon Helldy Agustian dan wakilnya, Sanuji Pentamarta, ikut menandatangani spanduk penolakan pendirian gereja tersebut.
Terkait hal itu, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Rabu (14/9), mengundang wali kota Cilegon ke kantornya untuk meminta penjelasan. Pertemuan yang dilakukan secara tertutup itu dihadiri Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Plt Dirjen Bimas Kristen Kemenag dan para tokoh agama yang tergabung dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Analis Kebijakan dan Subkoordinator Pengembangan Dialog dan Wawasan Multikultural Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama, Paulus Tasik Galle kepada VOA, Rabu (14/9) mengatakan dalam pertemuan itu, wali kota Cilegon menyampaikan secara menyeluruh soal isu penolakan pendirian gereja di wilayah itu.
Wali kota itu, kata Paulus, menjelaskan bahwa dirinya hingga saat ini belum pernah mendapatkan pengajuan pendirian gereja oleh pihak HKBP Maranatha Cilegon. Prosesnya, tambahnya, baru sampai tingkat kelurahan. Verifikasi masih terus berjalan khususnya terkait soal persyaratan dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang.
“ Sepertinya ada ketidakjujuran dari proses itu. jadi ketika warga dimintai KTP sebagai tanda ini, ada yang KTP itu dimintai dalam rangka untuk memberikan bantuan bagi yatim. Dari pihak yang mengajukan persyaratan itu masih perlu diverifikasi karena ternyata dukungan itu banyak yang dicabut kembali,” kata Paulus .
Selain itu, lanjut Paulus, Forum Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) juga belum memberikan rekomendasi karena syarat untuk mendirikan rumah ibadah belum terpenuhi.
Wali kota Cilegon, menurut Paulus, juga menjelaskan bahwa ibadah-ibadah agama non muslim di wilayahnya selama ini berjalan dengan baik. Menurut Paulus, persoalan pendirian rumah ibadah ini akan diselesaikan secara baik.
Dalam pendirian rumah ibadah, kepala daerah merujuk pada Peraturan Bersama Menteri (PBM) antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006. PBM tersebut mengatur bahwa pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.
Selain itu, ada juga persyaratan khusus yang harus dipenuhi terkait pendirian rumah ibadah. Pertama, daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah – yang jumlahnya paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat. Kedua, dukungan masyarakat setempat, paling sedikit 60 oran yang disahkan oleh lurah/kepala desa. Ketiga, rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota. Keempat, rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.
Usai pertemuan, Wali Kota Cilegon Helldy Agustian menegaskan tidak keberatan dengan pendirian rumah ibadah agama apapun asalkan sesuai dengan peraturan yang ada.
Terkait penandatanganan petisi penolakan pendirian gereja yang dilakukan olehnya dan Sanuji Pentamarta, kata Helldy, adalah untuk memenuhi permintaan warga. Tugasnya sebagai Pemerintah Kota Cilegon, tambahnya, adalah menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat.
“Intinya bahwa masyarakat Kota Cilegon pada saat itu berkeinginan seperti itu, karena sebelumnya kan sudah ada yang namanya dari ketua DPRD dan para wakil juga. Karena itu kan, kami memang menjalankan selaku Wali Kota Cilegon perihal mengenai kondusivitas tentunya,” kata Helldy.
Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan mengatakan kepala daerah seharusnya berpegang pada konstitusi dan tidak tunduk pada tekanan kelompok intoleran.
Kepala daerah tambahnya juga harus memfasilitasi dan menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing sebagaimana diatur dalam konstitusi. [fw/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.