Kasus eksploitasi dan pelecehan seksual pada anak tidak hanya terjadi di dunia nyata, namun juga di dunia maya. Hasil penelitian yang dilakukan jaringan organisasi yang mengadvokasi penghentian pornografi, dan penyelundupan anak untuk tujuan seksual (ECPAT), UNICEF, dan Interpol di sejumlah negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, , menunjukkan fakta itu.
Peneliti UNICEF, Marie Nodzenski, mengungkap hasil penelitian itu.
“Kami menemukan setahun terakhir (2021), pengguna internet berusia 12-17 tahun di Indonesia menjadi sasaran eksploitasi dan pelecehan seksual secara daring.”
Kasus eksploitasi dan pelecehan seksual pada anak di Indonesia, kata Marie, termasuk paling rendah di Asia Pasifik. Namun, angka ini tidak boleh dipandang enteng Ia memperkirakan jumlah kasus sebenarnya leih besar mengingat rendahnya laporan terkait kasus ini karena berbagai hal.
Hasil riset juga menunjukkan, pelaku kekerasan dan pelecehan seksual umumnya adalah orang yang dikenal korban, sementara medium eksploitasinya adalah Layanan komunikasi whatsapp, dan media sosial . seperti Facebook.
Deputi Perlindungan Khusus Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Nahar, mengatakan literasi digital menjadi hal penting di era internet saat ini. Interaksi aman, kata Nahar, harus menjadi bekal dan keahlian yang dimiliki anak-anak.
“Edukasi anak dan masyarakat tentang literasi digital tidak lagi bisa dianggap remeh, khususnya tentang interaksi aman di internet dan pentingnya peran orang tua dan pengasuh dalam melakukan bimbingan dan pengawasan. Kedua, menyerukan keberanian untuk melapor dan aksi yang lebih tegas untuk memidanakan semua tindak pidana eksploitasi seksual, dan perlakuan yang salah di dunia maya,” jelasnya.
Direktur Eksekutif Surabaya Children Crisis Center (SCCC), Edward Dewaruci, menyebut literasi digital adalah kebutuhan penting yang tidak dapat ditunda, untuk membentengi anak dari ancaman predator seksual anak di dunia maya.
“Adanya fakta itu, temuan itu, berarti butuh literasi digital buat anak-anak yang sehat. Upaya perlindungannya itu tidak bisa lagi sekedar sosialisasi atau langkah-langkah informasi saja, tapi harus mulai diubah polanya, masuk ke dalam kurikulum sekolah, bagaimana menciptakan pertahanan buat anak-anak di era digital lifestyle seperti sekarang,” jelas Edward Dewaruci.
Edward juga mengajak para orangtua agar melek digital sehingga mewaspadai kemungkinan-kemungkinan yang bisa dihadapi anak mereka.
“Kekerasannya tidak langsung tersentuh fisik, tapi secara video dia terekam, terviralkan, misalnya terviralkan di lingkungan sekolah saja, sudah ingin bunuh diri pasti itu, anak ini. Jadi, kewaspadaannya orang tua itu sekarang tidak hanya di dunia nyata, interaksinya mereka (anak) di dunia digital itu, ada game online, main bersama-sama itu kan juga masih harus bisa kita ikuti, dia berteman dengan siapa saja,” imbuhnya. [pr/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.