Pemerintah Turki baru-baru ini mengusulkan rancangan undang-undan (RUU) yang akan mengkriminalisasi penyebaran informasi yang salah di media sosial. Langkah itu menuai kritik baik dari dalam maupun luar negeri.
RUU disinformasi Turki mendapat kecaman dari pengawas hukum Eropa yang memperingatkan bahwa undang-undang tersebut akan mengancam kebebasan berekspresi dan jurnalisme independen menjelang pelaksanaan pemilu di negara itu pada tahun depan.
Peringatan tersebuit tertuang dalam laporan yang disusun oleh Komisi Venesia, yang memberi nasihat kepada Dewan Eropa. Herdis Kjerulf Thorgeirsdottir, wakil presiden Komisi Venesia, mengatakan undang-undang itu akan memiliki dampak negatif yang luas.
“Perhatian utama kami adalah efek mengerikan yang akan terjadi pada debat politik di Turki karena RUU ini berlaku untuk semua orang. Kedua, sanksi berat satu hingga tiga tahun penjara bagi mereka yang terbukti bersalah menyebarkan informasi palsu atau menyesatkan akan mengarah pada penyensoran diri yang meluas, di mana saat ini kondisi (di Turki) sendiri tidak bersahabat,” kata Thorgeirsdottir.
Kelompok-kelompok hak asasi telah menempatkan Turki di antara negara terbesar di dunia yang banyak memenjarakan jurnalis, sebuah tuduhan yang dibantah oleh pihak pemerintah di Ankara.
Pemerintah Turki dalam beberapa tahun terakhir memperkenalkan beberapa undang-undang yang bertujuan untuk mengendalikan media sosial. Tetapi, para kritikus mengatakan rancangan undang-undang terbaru yang berisi 40 pasal itu adalah yang paling parah.
Yaman Akdeniz dari Asosiasi Kebebasan Berekspresi Turki mengatakan media sosial mengancam kontrol pemerintah terhadap media secara umum.
“Penggunaan media sosial di Turki tinggi, baik itu Twitter, Facebook, atau platform media sosial lainnya,” kata Akdeniz. “Orang Turki sebagian besar mengandalkan media sosial untuk mendapatkan informasi karena kami tidak dapat lagi memperoleh informasi dari surat kabar di Turki atau bahkan saluran TV karena mayoritas dikendalikan oleh pemerintah.”
Pemerintah berpendapat undang-undang yang diusulkan mirip dengan kontrol media sosial di negara-negara Eropa lainnya.
Thorgeirsdottir mengatakan perbandingan itu salah.
“Inspirasi dari negara-negara ini (Eropa.red) tidak relevan karena mereka tidak mengkriminalisasi informasi palsu. Meskipun negara-negara tersebut mungkin memberlakukan aturan untuk menindak penyedia layanan internet atau platform online agar menghapus konten ilegal, ini bukanlah perbandingan yang valid” ucap Thorgeirsdottir.
Turki akan mengadakan pemilihan anggota parlemen dan presiden tahun depan. Dengan hasil jajak pendapata yang menunjukkan partai-partai yang berkuasa dan presiden tertinggal dari lawannya, pemerintah harus memperketat kontrolnya pada media, ucap jurnalis Hikmet Adai yang bekerja untuk portal berita Turki Bianet.
Adai mengatakan, pemilu akan berlangsung pada bulan Juni 2023, dan dengan krisis ekonomi yang sedang berlangsung, pemerintah tidak ingin berita buruk ini menyebar terutama ke dunia luar. Undang-undang yang diusulkan ini merupakan penyensoran terberat dalam sejarah pers Turki, sehingga akan berdampak pada jurnalisme.
Undang-undang yang diusulkan saat ini sedang dibahas di parlemen dan bisa lolos menjadi undang-undang paling cepat pada akhir bulan ini. [ss/rs]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.