Ratusan laki-laki dewasa dan anak-anak Suriah ditahan, dipukuli, dan dikembalikan secara paksa ke negara mereka oleh pihak berwenang Turki selama periode waktu enam bulan, kata sebuah kelompok HAM terkemuka, Senin (24/10).
Perlakuan terhadap migran di Turki yang berada di bawah perlindungan sementara itu merupakan pelanggaran hukum internasional, kata Human Rights Watch (HRW) yang berbasis di New York dalam sebuah laporannya.
Pemerintah Turki di masa lalu pernah menolak tuduhan memulangkan pengungsi secara paksa ke Suriah.
Turki menampung populasi pengungsi terbesar di dunia, sebagian besar 3,6 juta warga Suriah yang melarikan diri dari perang di negara mereka.
HRW mengatakan warga Suriah yang dideportasi mengatakan kepada para peneliti organisasi itu bahwa sejumlah petugas Turki menangkap mereka di rumah, tempat kerja, dan di jalan. Mereka kemudian ditahan dalam kondisi yang buruk, dengan sebagian besar menderita pemukulan dan penganiayaan, dan dipaksa untuk menandatangani dokumen yang menyetujui pemulangan “sukarela” ke Suriah.
Setelah diborgol ke perbatasan Suriah, di mana perjalanan terkadang berlangsung selama 21 jam, mereka dipaksa menyeberang dengan todongan senjata, kata orang-orang Suriah itu.
“Pihak berwenang Turki telah melakukan pelanggaran hukum internasional dengan menangkap ratusan pengungsi Suriah, bahkan anak-anak tanpa pendamping, dan memaksa mereka kembali ke Suriah Utara,” kata Nadia Hardman, peneliti hak pengungsi dan migran di Human Rights Watch.
Prinsip hukum nonrefoulement, yang harus dipatuhi Ankara sesuai perjanjian internasional, melarang pemulangan siapa pun ke tempat di mana mereka akan menghadapi risiko penganiayaan, penyiksaan, atau ancaman nyata terhadap kehidupan. Komisi Penyelidikan PBB tentang Suriah bulan lalu kembali menyatakan bahwa Suriah tidak aman bagi mereka yang ingin pulang.
Di tengah krisis ekonomi yang kian buruk, sentimen antipengungsi di Turki kian meningkat. Rumah-rumah dan bisnis-bisnis milik orang Suriah sering diserang.
Menghadapi pemilu yang semakin dekat, pemerintah sekarang bertujuan untuk mengembalikan semakin banyak orang ke daerah-daerah Suriah Utara yang berada di bawah kendali militer Turki.
Sebelumnya bulan ini seorang pejabat Turki mengatakan hampir 527.000 warga Suriah telah kembali ke tanah air mereka secara sukarela. Sewaktu mengumumkan proyek pembangunan rumah di wilayah barat laut Idlib, Suriah, pada Mei, Presiden Recep Tayyip Erdogan mengatakan akan memfasilitasi kembalinya 1 juta pengungsi dari Turki.
Erdogan baru-baru ini mengisyaratkan perubahan kebijakan terhadap Suriah, dengan menunjukkan keinginan untuk melangsungkan pembicaraan dengan Presiden Suriah Bashar Assad. Ankara sebelumnya menuntut pemecatan Assad karena mendukung kelompok-kelompok oposisi. Banyak warga Suriah yang berada di Turki khawatir hubungan yang menghangat itu dapat menyebabkan tekanan yang lebih besar pada mereka untuk dipulangkan.
“Meskipun Turki memberikan perlindungan sementara kepada 3,6 juta pengungsi Suriah, sekarang tampaknya Turki berusaha menjadikan Suriah Utara sebagai tempat pembuangan pengungsi,” kata Hardman.
Human Rights Watch mewawancarai 37 lelaki Suriah dan dua anak laki-laki antara Februari dan Agustus, serta kerabat mereka yang dideportasi ke Suriah.
Mereka semua mengatakan bahwa mereka dideportasi bersama dengan puluhan atau ratusan lainnya dan dipaksa untuk menandatangani formulir yang mereka pahami sebagai perjanjian pemulangan sukarela. Menurut seorang lelaki berusia 26 tahun dari kota Aleppo di Suriah Utara, seorang pejabat Turki mengatakan kepadanya bahwa siapa pun yang mencoba masuk kembali ke Turki akan ditembak.
Hardman mengatakan Uni Eropa harus menangguhkan pendanaan unit-unti penahanan migrasi dan kontrol perbatasan sampai kebijakan deportasi paksa berakhir. Di bawah kesepakatan 2016, Uni Eropa telah memberikan bantuan 6 miliar euro ke Turki sebagai imbalan untuk mengurangi aliran migran ke Eropa. [ab/uh]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.