Baru-baru ini muncul isyarat rekonsiliasi antara Turki dan Suriah, yang tampak ganjil setelah dukungan kuat Ankara selama lebih dari sepuluh tahun pada kelompok pemberontak yang memerangi pemerintah Damaskus.
Surat kabar pro-pemerintah, Hurriyet, pada 16 September lalu melaporkan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah menyatakan harapan untuk bertemu dengan mitranya, Presiden Suriah Bashar Al Assad di KTT Organisasi Kerjasama Shanghai di Uzbekistan; meskipun Assad tidak datang.
“Saya berharap Assad datang ke Uzbekistan, saya ingin berbicara dengannya,” ujar Erdogan dalam pertemuan tertutup Partai Pembangunan dan Keadilan sebagaimana dikutip kolomnis Hurriyet, Abdulkadir Selvi.
Erdogan bulan lalu juga dilaporkan mengatakan ia tidak pernah menepis dialog dengan Suriah, dan menambahkan, “Kita sedianya melakukan langkah lebih jauh dengan Suriah.”
Mengutip empat sumber, kantor berita Reuters pada 15 September lalu melaporkan beberapa minggu terakhir ini Kepala Organisasi Intelijen Nasional Turki Hakan Fidan telah melangsungkan beberapa pertemuan dengan mitranya, Kepala Biro Keamanan Nasional Suriah Ali Mamlouk di Damaskus.
Direktur Pusat Kajian Turki di Institut Timur Tengah Gonul Tol mengatakan pada VOA, perkembangan ini bukan hal baru karena sejak tahun 2016 Turki dengan bekerjasama erat dengan rezim Assad. “Saya kira yang baru adalah perubahan retorika. Kini kita mendengar pejabat-pejabat Turki lebih vokal menyuarakan kemungkinan normalisasi dengan rezim Assad,” ujarnya dalam wawancara melalui telpon. “Tetapi dalam kenyataannya, jika kita melihat seluruh perkembangan yang terjadi sejak tahun 2016, saya kira hal ini bukan sesuatu yang mengejutkan.”
Tol mengatakan sejak Erdogan mulai menyelaraskan partainya dengan kelompok nasionalis guna mengkonsolidasikan kekuasaan, prioritas utamanya telah beralih dari menggulingkan rezim Assad menjadi meredam kemajuan kelompok Kurdi di bagian utara Suriah.
“Untuk mencapai tujuan itu, ia tidak saja membutuhkan lampu hijau dari Rusia, tetapi juga harus bekerjasama erat dengan rezim itu sendiri… Ada pemahaman secara diam-diam diantara keduanya – ketika Erdogan menyerang Kurdi, Assad melihat ke arah lain,” ujar Tol.
Turki telah melancarkan empat operasi militer di Suriah sejak tahun 2016, dan menganggap kelompok bersenjata Kurdi YPG – yang sebenarnya merupakan bagian penting Pasukan Demokratik Suriah SDF yang didukung Amerika di bagian utara Suriah – sebagai ancaman keamanan nasional.
Turki menilai SDF sebagai cabang Partai Pekerja Kurdi. Turki dan Amerika sama-sama menilai partai ini sebagai organisasi teroris.
Sebagai anggota NATO, Turki menempatkan militer di sebagian besar utara Suriah. Suriah menganggap Turki sebagai kekuatan pendudukan dan menyerukan penarikan mundur tanpa syarat pasukannya dari Suriah. [em/jm]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.