Tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur pada Sabtu (1/10) merupakan titik kulminasi dari salah urus bidang olahraga di Indonesia. Petaka itu juga merupakan gambaran bagaimana budaya kekerasan telah mewarnai dunia sepak bola di Tanah Air selama beberapa dekade terakhir, kata para ahli.
Tragedi yang menewaskan 131 orang, termasuk 32 anak-anak itu, membuat ofisial dan penggemar dipaksa untuk melihat bagaimana kegagalan dalam mengurus seluruh aspek olahraga rakyat tersebut.
Para pakar sepak bola nasional menyuarakan sejumlah faktor yang dihadapi oleh dunia persepakbolaan di Tanah Air , di antaranya infrastruktur stadion yang sudah tak lagi kokoh, salah urus, antrean mengular untuk dapat keluar dari stadion yang sudah ketinggalan zaman, dan potensi bentrokan yang berbuah kekerasan yang telah menelan banyak korban sejak tahun 1990-an.
“Ini adalah peringatan, yang sangat merugikan kami,” kata komentator sepak bola nasional Mohamad Kusnaeni kepada AFP.
Presiden Joko Widodo mengunjungi lokasi tragedi Kanjuruhan pada Rabu pekan lalu, lalu memerintahkan dilakukannya audit pada seluruh stadion. Presiden menjadikan Stadion Gelora Bung Karno yang berkapasitas 78.000 kursi sebagai standar yang dia harapkan untuk dapat menggelar pertandingan di liga Indonesia.
Pintu keluar di Stadion Kanjuruhan yang berkapasitas 42.000 itu sebenarnya cukup besar untuk hanya memuat dua orang sekaligus. Namun, malangnya beberapa pintu tidak dibuka tepat waktu, kata para pejabat.
“Anda bisa melihat dan merasakan bahwa sesuatu yang buruk berpotensi terjadi,” kata analis sepak bola nasional Pangeran Siahaan kepada AFP.
“Ada banyak bahaya setiap kali Anda pergi ke stadion sepak bola di Indonesia.”
Banyak stadion di Tanah Air yang dinilai belum memenuhi standar internasional untuk menjadi tempat penyelenggaraan event olahraga, kata Kusnaeni.
Beberapa stadion bahkan tidak memiliki tempat duduk tunggal, melainkan hany memiliki bangku berjajar yang memungkinkan lebih banyak orang untuk berdiri dan berkerumun bersama. Kondisi tersebut padahal mempersulit aparat untuk menemukan potensi insiden sebelum hal tersebut benar-benar terjadi.
Presiden mengatakan Stadion Gelora Bung Karno memungkinkan semua penonton keluar dari stadion dengan aman dalam waktu 15 menit.
“Kita harus belajar darinya. Hukuman ringan telah membuat kelalaian di kancah sepak bola berulang kali terjadi,” kata Akmal Marhali, koordinator pengawas sepak bola Save Our Soccer dan anggota satuan tugas pencari fakta yang menyelidiki bencana itu.
“Harus ada perubahan progresif dan langkah-langkah untuk berubah,” tegasnya.
Langkah-langkah yang lebih ketat, seperti melarang klub-klub dari kompetsi yang dijalankan oleh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), dapat membantu memastikan keamanan dan perilaku penggemar yang lebih baik.
Terinspirasi Ultra Italia
PSSI mengaku telah melakukan tindakan pencegahan sebelum pertandingan “karena persaingan yang ketat dan … budaya penonton”, Wakil Sekretaris Jenderal PSSI Maike Ira Puspita mengatakan kepada AFP, seraya menolak untuk membahas perilaku polisi.
Tindakan preventif itu di antaranya melarang suporter Persebaya Surabaya masuk stadion karena takut akan adanya kekerasan, mengingat suporter Persebaya -yang dikenal dengan sebutan Bonek- adalah pendukung “ultra” fanatik.
Para pendukung mengatakan mereka tidak bisa disalahkan atas apa yang terjadi setelah kekalahan Arema dari rival terberat mereka selama lebih dari dua dekade.
Kepolisian tampaknya menyalahkan penggemar “anarkis” sebelum menskors sembilan petugas dan memecat kapolsek setempat.
Bencana tersebut tampaknya menyorot kelompok pendukung “super loyal” Indonesia, yang hampir dapat terlihat seperti milisi yang terlatih dalam pertempuran. Mereka menggunakan seragam dan mengikuti perintah komandan yang menggunakan megafon dalam memberikan komando.
Kelompok-kelompok dalam sub-budaya ini, seperti Curva Nord Persija di Jakarta, memiliki lagu-lagu spesial untuk menyemangati tim jagoan yang terinspirasi oleh ultra Italia.
Para atlet melakukan perjalanan dengan kendaraan lapis baja ke lapangan. Namun para suporter klub terbesar itu dilarang mendekati. Pasalnya sejumlah kasus menunjukkan terdapat beberapa suporter bersenjata menunggu yang di jalan raya untuk menyerang pelatih lawan mereka.
Beberapa penggemar mengenakan kaus bertuliskan slogan “sampai mati.” Massa dalam beberapa kasus yang terjadi, bahkan sampai memukuli penggemar tim rival sampai tewas.
Campur Tangan Tuhan
Para pakar mengatakan bahwa pertumpahan darah antara Arema dan Persebaya Surabaya benar-benar berkaitan dengan persaingan antara dua kota terbesar di Jawa Timur, Malang dan Surabaya.
Namun, ada secercah harapan bahwa sesuatu yang baik bisa keluar dari salah satu bencana terburuk dalam sejarah sepak bola itu.
“Inilah momentum bagi semua suporter untuk menyadari bahwa sepak bola adalah tentang mendukung tim favorit Anda dan bukan tentang membenci tim lawan,” kata komentator Kusnaeni.
“Para pendukung harus mengubah filosofi mereka.”
Pemilik Persebaya Surabaya dan Arema sudah saling berkomunikasi untuk membahas rivalitas tersebut. Perwakilan penggemar juga bertemu.
“Mungkin ini campur tangan Tuhan untuk menyatukan suporter Arema dengan Persebaya,” kata Danny Agung Prasetyo, koordinator kelompok suporter Arema DC, kepada AFP. [ah/rs]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.