Kepala BPOM Penny Lukito mengatakan lembaganya telah menelusuri data registrasi terhadap seluruh produk obat bentuk sirop dan drops (obat tetes). Ini dilakukan terkait penanganan gangguan ginjal akut di Indonesia yang diduga disebabkan etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) dalam obat berbentuk sirop.
Hasil penelusuran, kata Penny, terdapat 133 sirop obat yang tidak menggunakan propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan/atau gliserin/gliserol sehingga aman sepanjang digunakan sesuai aturan pakai. Bahan ini diduga menjadi penyebab gangguan ginjal akut.
Namun, Penny menekankan tugas BPOM hanya menyampaikan keamanan sebuah produk, bukan menyampaikan akibat sebuah produk. Sebab, untuk mengetahui akibat produk atau obat dibutuhkan pendalaman lagi.
“Kami juga perlu menyampaikan bahwa hasil uji cemaran EG dan DEG bukan berarti mendukung kesimpulan penggunaan sirop obat tersebut memiliki keterkaitan sebab akibat dengan gagal ginjal anak,” jelas Penny dalam konferensi pers, Minggu (23/10/2022).
Penny menjelaskan lembaganya juga telah menelusuri 102 produk obat yang menurut Kementerian Kesehatan telah digunakan pasien gangguan ginjal akut di Indonesia. Hasilnya tiga produk dinyatakan mengandung cemaran EG atau DEG yang melebihi ambang batas aman. Sedangkan yang masih dalam tahap pengujian masih ada 69 produk lagi.
“Secepatnya kami akan mengeluarkan secara bertahap, karena ini untuk menyatakan bertambah yang aman dan menjadi pilihan untuk dikonsumsi,” tambahnya.
Patroli Siber
Selain itu, BPOM juga melakukan patroli siber untuk menelusuri penjualan produk yang dinyatakan tidak aman. Untuk ini, BPOM telah berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) untuk menurunkan 4.922 konten (link) yang menjual sirop obat tidak aman per 21 Oktober 2022.
BPOM melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) di seluruh Indonesia juga terus mengawal proses penarikan sirop obat yang mengandung cemaran EG/DEG yang melebihi ambang batas aman.
Imbauan IDAI Picu Kekhawatiran
Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr Piprim Basarah Yanuarso pada Rabu (19/10) lalu mengimbau tenaga kesehatan untuk menghentikan pemberian resep obat sirop yang diduga terkontaminasi EG dan DG sesuai hasil investigasi Kemenkes dan BPOM. Menurutnya, tenaga kesehatan juga dapat berkonsultasi dengan dokter spesialis anak atau konsultan anak jika memerlukan obat sirop khusus seperti obat anti-epilepsi.
“Jika diperlukan, tenaga kesehatan dapat meresepkan obat pengganti yang tidka terdapat dalam daftar dugaan obat terkontaminasi. Atau dengan jenis sediaan lain seperti suppositoria (obat yg dimasukkan ke dalam anus) atau dapat mengganti dengan obat puyer dalam bentuk tunggal (monoterapi),” jelas dr Piprim, Rabu (19/10).
Piprim juga menyarankan pemberian resep obat puyer tunggal hanya boleh dilakukan dokter. Di samping itu, ia mengimbau tenaga kesehatan agar memantau pasien dengan tanda awal gangguan ginjal akut seperti berkurang atau tidak adanya buang air kecil secara mendadak.
Sedangkan untuk masyarakat, ia mengimbau untuk sementara waktu agar tidak membeli obat bebas tanpa rekomendasi tenaga kesehatan hingga ada hasil investigasi menyeluruh dari Kemenkes dan BPOM.
“Sebaiknya mengurangi aktivitas anak-anak khususnya balita yang menyebabkan terpapar risiko infeksi seperti dalam kerumunan, ruang tertutup, tidak menggunakan masker dan lain-lain.”
Langkah Antisipasi Kementerian Kesehatan
Mengutip rilis Kemenkes pada Rabu (19/10), jumlah kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal/Acute Kidney Injury (AKI) yang dilaporkan hingga 18 Oktober 2022 sebanyak 206 dari 20 provinsi dengan angka kematian sebanyak 99 anak. Kasus gangguan ginjal telah diterima Kemenkes dan IDAI sejak Agustus 2022, utamanya di bawah usia 5 tahun.
Kemenkes bersama BPOM, ahli epidemiologi, IDAI, farmakolog dan Puslabfor Polri melakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan penyebab dan faktor risiko yang menyebabkan gangguan ginjal akut.
“Dari hasil pemeriksaan, tidak ada bukti hubungan kejadian AKI dengan Vaksin COVID-19 maupun infeksi COVID-19. Karena gangguan AKI pada umumnya menyerang anak usia kurang dari 6 tahun, sementara program vaksinasi belum menyasar anak usia 1-5 tahun,” kata juru bicara Kemenkes dr Syahril.
Kemenkes juga sudah meminta tenaga kesehatan untuk sementara tidak meresepkan obat-obatan dalam bentuk sediaan cair atau sirop, sampai hasil penelusuran dan penelitian tuntas. Termasuk juga meminta seluruh apotek untuk sementara tidak menjual obat bebas dan/atau bebas terbatas dalam bentuk cair atau sirop kepada masyarakat. [sm/em]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.