Pemerintah berkuasa Taliban bereaksi keras terhadap laporan bahwa seorang personil militer Amerika telah mengambil paksa seorang anak dari pasangan Afghanistan yang tiba di Amerika sebagai pengungsi.
Pasangan itu bulan September lalu telah mengajukan gugatan hukum federal terhadap pengacara Marinir Mayor Joshua Mast dan istrinya, menuduh mereka menculik bayi perempuan mereka.
Mast telah membantah tuduhan itu. Mast menilai ia dan istrinya adalah wali sah anak tersebut.
Kementerian Luar Negeri Taliban hari Minggu (23/10) mengatakan pihaknya menilai kasus ini “mengkhawatirkan, jauh dari martabat manusia dan tindakan yang tidak manusiawi,” dan “akan secara serius menangani masalah ini dengan pihak berwenang Amerika sehingga anak itu dapat dikembalikan kepada kerabatnya.”
Bayi, yang kini berusia tiga setengah tahun itu, diselamatkan pada tahun 2020 lalu dari puing-puing serangan militer Amerika yang menewaskan orang tua dan lima saudara kandungnya. Setelah menghabiskan waktu selama beberapa bulan di sebuah rumah sakit militer Amerika, bayi perempuan malang itu tinggal bersama sepupunya dan istrinya, yang kemudian diterbangkan ke Washington DC oleh Mast bersama dengan puluhan ribu warga Afghanistan pada Agustus 2021 lalu.
Dokumen pengadilan menunjukkan Mast, seorang perwira aktif di Angkatan Laut AS, mengambil bayi itu dari pasangan tersebut lima hari setelah mereka tiba di Amerika. Sejak saat itu pasangan itu belum melihat bayi itu lagi.
Mast bersama istrinya kemudian mengadopsi bayi itu melalui prosedur hukum di pengadilan Virginia.
Seorang perempuan Afghanistan yang meminta untuk disebutkan namanya, mengatakan pada Associated Press bahwa “setelah mereka (Mast dan istrinya.red) mengambil bayi itu, air mata kami tidak pernah berhenti. Saat ini kami hanya mayat. Hati kami hancur. Tanpa dia, kami tidak memiliki rencana untuk masa depan. Makanan yang kami makan tidak ada rasanya, tidur juga tidak membuat kami bisa beristirahat.”
Taliban : Warga Afghanistan yang Dievakuasi Massal Tak Punya Kepastian Hukum
Kementerian Luar Negeri Taliban baru-baru ini memperbarui kritiknya terhadap evakuasi massal warga Afghanistan, dengan mengatakan mereka dibawa ke luar negeri oleh Amerika dan sekutunya “secara tidak pantas.” Taliban juga menuduh bahwa banyak dari pengungsi “kini berada di berbagai kamp dalam ketidakpastian hukum dan kehilangan hak asasi manusia mereka.”
Pernyataan itu mendesak negara-negara tuan rumah untuk melindungi hak asasi manusia dan hukum para pengungsi Afghanistan sesuai hukum internasional dan melalui layanan konsuler.
Taliban merebut kembali Afghanistan pada Agustus 2021 ketika pemerintahan yang didukung Amerika di Kabul ambruk, dan mundurnya pasukan asing setelah berperang dengan pemerontak Islam saat itu selama lebih dari 20 tahun.
Pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban mendorong evakuasi massal warga Afghanistan yang takut terhadap pembalasan Taliban karena berpihak pada pasukan internasional melawan mereka. Amerika menerbangkan lebih dari 120.000 orang ke tempat yang aman. Sebagian dari pengungsi ini diterbangkan ke negara-negara ketiga untuk diproses pemukiman kembali ke Amerika, tetapi mereka belum dimukimkan kembali dan kini dihadapkan pada masalah perumahan dan tantangan untuk menyekolahkan anak-anak mereka kembali.
Belum Ada Negara Akui Pemerintahan Taliban
Belum ada satu pun negara yang mengakui secara resmi legitimasi pemerintah Taliban, dengan alasan terorisme dan keprihatinan atas kondisi HAM – terutama perempuan dan anak perempuan.
Kelompok radikal Taliban telah membatasi hak-hak perempuan, menutup akses mereka untuk mendapat pendidikan dan memperoleh pekerjaan. Meskipun universitas-universitas negeri dan swasta di Afghanistan terbuka bagi perempuan, namun anak perempuan usia sekolah menengah – yaitu dari kelas tujuh hingga dua belas – dilarang bersekolah.
Utusan Khusus Amerika Untuk Afghanistan Thomas West pekan lalu mengatakan pada VOA bahwa delegasinya telah melangsungkan putaran pembicaraan baru dengan Taliban awal Oktober ini di Qatar, dan memperbarui kekhawatiran Amerika atas masalah HAM yang terjadi.
“Saya pikir kedua belah pihak memiliki sikap konstruktif dalam pembicaraan ini. Saya kira kita sedang dalam upaya membangun kembali kepercayaan. Saya menjelaskan dengan sangat rinci pandangan saya bahwa tidak ada yang akan meningkatkan kedudukan Taliban di dalam dan luar negeri jika mereka tidak kunjung mengizinkan lebih dari satu juta anak perempuan untuk mendapat pendidikan menengah, hak dasar untuk melanjutkan studi, dan juga hak perempuan untuk bekerja.”
Taliban membela aturan yang mereka berlakukan terhadap perempuan itu dengan mengatakan aturan itu sejalan dengan perintah Islam dan budaya Afghanistan. Mereka mengatakan sedang membuat pengaturan untuk memungkinkan gadis-gadis sekolah menengah kembali bersekolah, tetapi bersikeras pemerintahnya tidak akan melakukan hal itu karena tekanan internasional. [em/jm]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.