Solusi 2 Negara Pemikiran Yang Realistik Meski Sulit Diwujudkan

Solusi 2 Negara Pemikiran Yang Realistik Meski Sulit Diwujudkan

Dalam pidato sidang Majelis Umum PBB beberapa waktu lalu, Perdana Menteri Israel Yair Lapid menyatakan mendukung solusi dua negara sebagai mekanisme untuk membentuk negara Palestina dengan syarat Palestina menjadi negara yang damai dan tidak menyerang Israel. Banyak pihak menilai solusi dua negara adalah gagasan yang tepat meski sulit diwujudkan.

Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin dalam diskusi mengenai solusi dua negara dalam konflik Palestina-Israel, yang digelar secara virtual, Kamis (29/9), mengatakan, solusi dua negara adalah pemikiran yang realistik.

“Saya membacanya munculnya solusi semacam itu karena sudah lelah menyelesaikan masalah konflik Israel-Palestina ini, baik lewat jalur perang yang juga tidak menguntungkan siapa-siapa, walaupun kerugian lebih banyak di pihak Arab, pihak Palestina,” kata Din.

Din Syamsuddin. (Foto: screenshot)

Din Syamsuddin. (Foto: screenshot)

Konflik Palestina-Israel, kata Din. membawa dampak sistemik terhadap kehidupan global. Konflik itu memicu reaksi yang keras, radikal, fundamentalis, dan bahkan ekstrem dari kalangan umat Islam tertentu, baik dari pengungsi Palestina sendiri maupun kelompok-kelompok Muslim yang bersimpati dengan masalah Palestina.

Ada 20-an organisasi solidaritas Palestina di dunia ini. Sebagian organisasi itu dipimpin oleh warga Palestina di perantauan. Di Indonesia juga terdapat beberapa organisasi solidaritas Palestina. Ia menjelaskan solusi dua negara juga diadopsi oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) sehingga menjadi komitmen dari banyak negara anggotanya, termasuk Indonesia.

Din mengakui di sisi Palestina, Hamas dan Fatah berbeda pendapat dalam hal solusi dua negara. Fatah menginginkan penyelesaian diplomatik, sedangkan Hamas memilih perang. Dunia Islam juga terbelah, ada yang pro Fatah dan ada yang mendukung Hamas.

Ia juga mengatakan solusi dua negara terganjal masalah pembagian wilayah. Israel menolak menyerahkan Yerusalem Timur menjadi ibu kota Palestina dan terus melangsungkan pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat.

Menurut Ahmad Khoirum Umam, pengajar di Universitas Paramadina, Jakarta, Israel begitu kuat posisinya di dunia internasional karena mendapat sokongan dari sistem internasional yang begitu kokoh. Apalagi soliditas negara-negara Arab makin melemah. Sejumlah negara Arab mulai mengakui Israel, seperti Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko dan, mungkin dalam waktu dekat, Arab Saudi.

Dia mengakui, tidak ada kemajuan dalam upaya menyelesaikan konflik Palestina-Israel dengan konsep solusi dua negara.

“Kenapa hal itu terjadi? Ada pergeseran fundamental yang cukup serius. Dulu kekuatan Arab begitu slid, sangat solid. Bagaimana konfrontasi Arab terhadap Israel melahirkan kolektivitas yang luar biasa,” ujar Khorul Umam.

Soliditas Arab waktu itu, kata Khoirul Umam, sempat melahirkan tiga kali perang, yakni Perang Arab-Israel pada 1948, Perang Enam Hari pada Juni 1967, dan Perang Yom Kippur pada 1973.

Dia menjelaskan proses normalisasi Arab-Israel ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk tingginya ketergantungan pada proteksi militer.. Struktur kekuatan militer negara-negara Arab sangat bergantung kepada Amerika Serikat, terutama produsen-produsen senjata swastanya.

Khorul Umam juga menambahkan bahwa Amerika dan Israel berhasil mengubah persepsi ancaman di kalangan negara-negara Arab. Jika dulu Israel dianggap sebagai ancaman utama, sekarang Iran yang justru diyakini sebagai ancaman bagi negara-negara di Timur Tengah. Walhasil, katanya, Israel lebih leluasa bergerak dan mewujudkan keinginannya sementara Palestina tidak lagi menjadi agenda prioritas dalam kebijakan luar negeri sejumlah negara Arab.

Dia mengakui salah satu ganjalan dalam penerapan solusi dua negara adalah kesulitan menetapkan batas wilayah antara Palestina dan Israel karena masing-masing memiliki persepsi sendiri. Palestina menginginkan wilayahnya adalah sebelum Perang Enam Hari 1967 dan itu yang ditolak oleh Israel.

Khairul Umam menekankan perlunya mekanisme multilateral dalam menyelesaikan konflik Israel-Palestina.

Dia berharap forum G20 yang sekarang diketuai oleh Indonesia, bisa dimanfaatkan untuk merumuskan penyelesaian atas ketiga isu dalam konflik Palestina-Israel. Selain itu, katanya, kebangkitan Tiongkok sebagai kekuatan dunia harus dimanfaatkan untuk memperkuat posisi Palestina dalam panggung internasional.

Khairul Umam menilai OKI ada tapi seperti tidak ada. Dia mengatakan posisi OKI yang sangat Saudi sentralistik tidak membuka ruang dialog yang seimbang dalam dunia Islam.

Mantan duta besar Indonesia untuk Spanyol. Yuli Mumpuni Widarso mengatakan konflik Palestina-Israel adalah ibu dari semua masalah internasional. Dia mengakui kehebatan diplomasi Israel tidak bisa diimbangi oleh Palestina meski ada Liga Arab dan Gerakan Non-Blok.

” Amerika mendukung sepenuhnya Israel, maka lobi-lobi diplomasi yang dilakukan Israel tampak lebih efektif, efisien, dan strategis,” tutur Yuli. [fw/ab]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *