Syeikh Yousuf al-Qaradawi, seorang ulama Ikhwanul Muslimin yang banyak dikenang dalam sepak terjangnya menghadapi dinamika perpolitikan di negara-negara Teluk, tutup usia pada Senin (26/9) di usia 96 tahun.
Lahir di Mesir, Qaradawi menghabiskan sebagian besar hidupnya di Qatar, di mana ia menjadi salah satu ulama Muslim Sunni yang paling dikenal dan berpengaruh di dunia Arab berkat penampilannya di jaringan Al Jazeera Qatar.
Disiarkan ke jutaan rumah, khotbahnya lewat layar televisi telah memicu ketegangan yang menyebabkan Arab Saudi dan negara-negara Teluk yang merupakan sekutunya, memblokade Qatar pada 2017 dan menyatakan Qaradawi sebagai teroris.
Wafatnya Qaradawi diumumkan di akun Twitter resminya.
Qaradawi, yang menimba ilmu di Universitas Al-Azhar Kairo, sering kali menyeimbangkan ideologi radikal yang dianut oleh al-Qaeda. Dia mengutuk keras serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat (AS), dan mendukung politik demokrasi.
Namun, dia juga menyetujui tindakan kekerasan jika terkait dengan hal yang menurutnya baik.
Setelah AS melakukan invasi pada 2003 di Irak, dia mendukung dilakukannya serangan terhadap pasukan koalisi. Qaradawi juga mendukung tindakan bom bunuh diri warga Palestina dalam menghadapi Israel selama pemberontakan yang dimulai pada 2000.
Atas tindakannya tersebut, beberapa negara bagian Barat melarang Qaradawi masuk ke wilayahnya.
Selama pemberontakan Musim Semi Arab, dia menyerukan agar pemimpin Libya Muammar Gaddafi dibunuh dan menyatakan perlunya dilakukan jihad dalam melawan pemerintah Presiden Suriah Bashar al-Assad. Musim Semi Arab merupakan sebutan yang menggambarkan momentum negara-negara Arab untuk bangkit dari kediktatoran.
Qaradawi bergabung dengan Ikhwanul Muslimin ketika ia masih muda. Mengadvokasi Islam sebagai program politik, Ikhwanul telah dilihat sebagai ancaman oleh para pemimpin Arab otokratis sejak didirikan pada 1928 di Mesir oleh Hassan al-Banna, yang dikenal oleh Qaradawi.
Dia menolak untuk menjadi pemimpin organisasi tersebut karena lebih memilih untuk berfokus pada khotbah dan keilmuan Islam dan membangun pengikut yang lebih massif dibandingkan pengikut di skala organisasi.
Qaradawi tumbuh menjadi sosok yang diperhitungkan setelah terjadinya pemberontakan Arab pada 2011.
Mengunjungi Kairo setelah jatuhnya Presiden Hosni Mubarak, dia mengatakan kepada warga yang memenuhi Tahrir Square bahwa ketakutan yang menyelimuti bangsa Mesir telah sirna seiring dengan keberhasilan mereka menggulingkan firaun era modern.
Penampilan Qaradawi tersebut membawa atmosfer perubahan di Mesir. Kelompok Islamis yang telah lama tertindas dapat menikmati kebebasan baru dan seorang anggota Ikhwanul, Mohamed Mursi, terpilih sebagai presiden pada 2012.
Ketika militer, yang didorong oleh protes massa, menggulingkan Mursi setahun kemudian, Qaradawi mengutuk orde baru yang dipimpin tentara karena mengeluarkan tindakan keras terhadap Ikhwanul.
Qaradawi mendesak pemilihan presiden yang menjadikan panglima militer Abdel Fattah al-Sisi sebagai presiden pada 2014 untuk diboikot.
“Tugas bangsa adalah melawan para penindas, menahan tangan mereka dan membungkam lidah mereka,” kata Qaradawi.
Hukuman Mati
“Dia adalah seseorang yang berkomitmen pada demokrasi dan kedaulatan rakyat dari perspektif Islam,” kata David Warren, seorang cendekiawan Islam kontemporer dan peneliti di Universitas Washington di St. Louis.
“Namun, menjadi seorang demokrat tidak berarti bahwa seseorang harus menjadi seorang pasifis (aliran yang menentang perang -red). Jadi dalam konteks perang saudara seperti Libya dan Suriah, dia bisa memegang posisi itu sambil mengatakan bahwa Gaddafi adalah seorang tiran yang harus dibunuh… ,” katanya.
Qaradawi muda sering kali keluar masuk hotel prodeo di Mesir. Ia juga pernah dijatuhi hukuman mati secara in absentia oleh pengadilan Mesir pada 2015, bersama dengan Mursi dan sekitar 90 orang lainnya. Qaradawi mengatakan putusan, yang terkait dengan pembobolan penjara massal pada 2011, adalah omong kosong dan melanggar hukum Islam. Ia menekankan bahwa ketika peristiwa itu terjadi, dia sedang berada di Qatar.
Dia mengkritik Riyadh karena mendukung Sisi, sementara serangannya terhadap Sisi dan bantuan untuk Ikhwanul Muslimin memicu ketegangan antara Qatar di satu sisi dan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab di sisi lain. Saudi dan Uni Emirat Arab diketahui merupakan pendukung pemerintah baru Mesir saat itu.
Baik Arab Saudi dan Uni Emirat Arab menetapkan Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi teroris pada 2014.
Pada 2014 ketika Riyadh dan sekutunya menarik duta besar dari Doha, Qaradawi menghentikan khotbah Jumatnya, dengan mengatakan dia ingin mengurangi tekanan pada Qatar, rumah keduanya sejak 1960-an.
Namun, ia masih memberikan kritik terhadap penguasa baru Mesir yang disampaikan dalam berbagai pernyataan.
Qaradawi, yang menghafal Alquran pada usia 10 tahun, mengetuai Persatuan Cendekiawan Muslim Internasional (IUMS). Dia menentang takfir, sebuah konsep yang digunakan oleh militan Islam untuk membenarkan tindakan pembunuhan terhadap Muslim yang tidak setuju dengan pendapat mereka.
Qaradawi juga menentang kelompok ultra-radikal ISIS, dengan mengatakan bahwa dia sama sekali tidak setuju dengan “dalam ideologi dan cara.”
Ketika ISIS membakar hidup-hidup seorang pilot Yordania yang ditangkap pada 2015, IUMS mengatakan kelompok itu tidak mewakili Islam dengan cara apa pun.
Namun, dia menolak peran AS dalam memerangi kelompok itu sebagai kepentingan pribadi. Kritikus mencatat tindakan Qaradawi itu tampak kontras dengan tindakan sebelumnya yang mendukung AS ketika Washington mempertimbangkan untuk melakukan serangan senjata kimia terhadap pemerintah Suriah pada 2013. Namun, wacana tersebut tidak pernah terwujud.
Pada kesempatan itu, Qaradawi mengatakan kekuatan asing adalah alat Tuhan untuk membalas dendam.
Saat perang di Suriah, Qaradawi berubah menentang kelompok Syiah Lebanon Hizbullah, yang pernah ia puji karena memerangi Israel. Dalam perang tersebut, kelompok pemberontak Sunni memerangi pasukan pimpinan Alawi yang didukung oleh Syiah Iran. Dia mengutuk Hizbullah sebagai “partai iblis.”
Namun, ia konsisten dalam mendukung perjuangan Palestina melawan Israel.
Pada kunjungan ke Gaza pada 2013 yang diselenggarakan oleh kelompok Islam Hamas yang berkuasa, Qaradawi mengatakan: “Kita harus berusaha untuk membebaskan Palestina, seluruh Palestina, inci demi inci.” [ah/rs]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.