Awal September lalu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengumumkan perubahan mekanisme seleksi masuk perguruan tinggi negeri (PTN) mulai 2023. Dari ketiga jalur seleksi, jalur tes-lah yang mengalami perubahan signifikan, di mana peserta tak akan lagi mengerjakan tes mata pelajaran, melainkan tes skolastik yang menguji kemampuan penalaran mereka. Apakah perubahan itu mempermudah atau menyulitkan peserta?
Zefanya Benjamin Ayal, siswa kelas XII jurusan IPA di salah satu sekolah menengah atas negeri di Cileungsi, Bogor, Jawa Barat, masih bingung memilih jurusan kuliah.
Apakah akan memilih kedokteran, sesuai saran orang tuanya, atau memilih seni, seperti hasil tes bakat dan minat yang diikutinya. Namun yang jelas, “Aku sama orang tua juga inginnya di perguruan [tinggi] negeri, tapi untuk lebih spesifiknya belum tau sih mau di mana,” ungkap Zefa, sapaan akrabnya, kepada VOA.
Sambil memantapkan hati soal jurusan, ia berusaha menjaga nilai rapornya agar bisa mengikuti seleksi jalur prestasi, atau yang dikenal dengan sebutan SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Sebagai alternatif, ia juga mengikuti bimbingan belajar agar lebih siap mengikuti seleksi jalur tes, atau disebut juga SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri).
Akan tetapi, belum lama ini Zefa terkejut saat mendengar berita bahwa mekanisme seleksi masuk PTN berubah cukup signifikan dari apa yang ia sudah persiapkan.
Tak Ada Lagi Tes Hapalan
Awal September lalu, melalui siaran langsung di kanal YouTube Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), kepala kementerian itu, Nadiem Makarim, mengumumkan sejumlah transformasi pada ketiga jalur seleksi masuk PTN, seperti tertuang dalam Permendikbudristek RI No. 48 Tahun 2022.
Untuk jalur prestasi, yang kini disebut Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP), seleksi dilakukan dengan mempertimbangkan dua komponen: minimal 50 persen berasal dari rata-rata nilai rapor seluruh mata pelajaran; kedua, maksimal 50 persen berasal dari dua mata pelajaran pendukung program studi yang dipilih, portofolio dan prestasi peserta.
Perubahan besar terjadi pada jalur kedua, yaitu jalur tes, alias SNBT (Seleksi Nasional Berdasarkan Tes). Peserta tak akan lagi mengerjakan tes per mata pelajaran, melainkan mengikuti tes potensi skolastik, yang akan mengukur potensi kognitif, penalaran matematika, penalaran literasi bahasa Indonesia dan penalaran literasi bahasa Inggris.
Transformasi juga berlaku untuk seleksi jalur mandiri yang digelar masing-masing kampus negeri. Perbedaan utamanya terletak pada tingkat transparansi dan akuntabilitas proses seleksi. Kini setiap kampus wajib memberi tahu kuota penerimaan mahasiswa per program studi atau fakultas, metode penilaiannya, jumlah biaya dan metode penentuan besaran biaya bagi calon mahasiswa yang lulus, jumlah peserta yang diterima, memberikan masa sanggah hasil seleksi, hingga penyediaan kanal pelaporan apabila peserta dan masyarakat menemukan pelanggaran peraturan seleksi.
Dalam wawancara dengan VOA 19 September lalu, Kepala Badan Standar, Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek Anindito Aditomo mengatakan bahwa perubahan itu dibuat untuk menyelaraskan mekanisme seleksi masuk PTN dengan kebijakan kurikulum, pembelajaran dan asesmen pendidikan yang baru, yang lebih fokus pada pengembangan kompetensi dasar dan karakter pelajar, bukan keluasan konten pelajaran.
“Di perguruan tinggi cukup menyeleksi berdasarkan kemampuan skolastik atau potensi anak-anak ini untuk bisa berhasil di perguruan tinggi berdasarkan kemampuan bernalar mereka yang applicable atau bisa diaplikasikan ke berbagai jurusan,” kata Nino, sapaan akrab Anindito.
Meski demikian, setiap kampus tetap dapat memberikan persyaratan tambahan bagi peserta yang mengikuti seleksi jalur prestasi atau tes pada program studi tujuan yang menuntut keterampilan khusus.
Selain mekanisme seleksi, lembaga yang menyelenggarakan seleksi masuk PTN tahun depan pun akan diganti dari Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi Negeri (LTMPT) menjadi Balai Pengelolaan Pengujian Pendidikan (BP3), yang berada di bawah Badan Standar, Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek, badan yang dikepalai Nino.
Sudah Waktunya Berubah
Konsultan pendidikan dan karir Ina Liem menyambut baik perubahan mekanisme seleksi masuk PTN mulai tahun depan, khususnya untuk jalur tes. Menurutnya, sudah saatnya ujian masuk perguruan tinggi dilakukan dengan menakar kemampuan penalaran siswa ketimbang mengetes materi hapalan.
Di tengah revolusi industri 4.0, yang menggabungkan teknologi digital dan internet dengan industri konvensional, kompetensi utama sumber daya manusia yang dibutuhkan adalah kemampuan memecahkan masalah (problem solving) untuk menciptakan inovasi. Menurutnya, kompetensi itu dapat dicapai ketika daya nalar dan pola pikir kritis seseorang dilatih dengan baik melalui kurikulum yang mengajarkan kemampuan berpikir tingkat tinggi (high order thinking skills), bukan tingkat rendah (low order thingking skills) yang identik dengan hapalan.
Dengan mekanisme yang baru, Ina memprediksi akan semakin banyak kampus yang akan mendapatkan calon mahasiswa yang sesuai kualifikasi jurusan maupun program studi.
“Di awal-awal ini, kalau prediksi saya, universitas akan mendapatkan siswa-siswa yang mengejutkan, mungkin yang nilai rapornya selama ini belum tentu dianggap berpotensi untuk diterima, tetapi malah keterima. Karena selama ini kan kita mengevaluasi anak-anak SMA yang rajin, tekun, menghapal, tetapi belum tentu paham.”
Meski demikian, Ina mengakui bahwa tidak semua tipe anak didik akan menyukai tes skolastik. Ia menyebut, anak-anak yang bersifat intuitif akan menyambut dengan baik, sementara anak-anak yang bersifat sensing, yang lebih senang berpraktik dengan memanfaatkan kelima panca indera, kemungkinan merasa sebaliknya.
Reaksi beragam juga diungkapkan peneliti kebijakan publik dan pendidikan Universitas Paramadina Totok Soefijanto. Seperti Ina, ia setuju bahwa metode seleksi mahasiswa sudah sepatutnya kini ditinjau dengan menggunakan ujian skolastik. Akan tetapi, ia memiliki sejumlah catatan.
Pertama, ia berharap penyelenggara seleksi dapat memastikan soal-soal tes skolastik dibuat dengan tingkat kesulitan yang setara antara paket yang satu dengan yang lainnya.
Selain itu, ia khawatir perubahan dilakukan terlalu tergesa-gesa. Menurutnya, diperlukan usaha dan waktu lebih untuk dapat memberikan pemahaman kepada guru dan peserta didik dari Sabang sampai Merauke mengenai perubahan tersebut, yang mungkin tidak dapat dilakukan secara maksimal selama kurang dari setahun ke depan.
“Seperti biasa kita selalu mengharapkan segala sesuatunya terjadi kebetulan. Kebetulan anak-anaknya nanti pintar, kebetulan anak-anaknya nanti memahami, kebetulan gurunya juga bisa ngajar, kebetulan aja, tapi bukan by design. Mutu pendidikan yang bagus itu harus by design,” ujarnya.
Bimbel Masih Dibutuhkan?
Totok dan Ina meyakini peran lembaga bimbingan belajar masih diperlukan untuk dapat membantu siswa mempersiapkan diri menghadapi seleksi masuk PTN. Lebih spesifik, Ina merujuk pada lembaga bimbel yang memiliki pendekatan pemahaman mendalam terhadap materi uji, bukan sekadar memberi tips dan trik jalan pintas untuk mengerjakan soal.
Nurul Fikri, lembaga bimbel dengan lebih dari 100 cabang di Indonesia, melakukan penyesuaian sepekan setelah Kemendikbudristek mengumumkan perubahan mekanisme seleksi masuk PTN. Chandra Kusuma, kepala bidang pendidikan Nurul Fikri, mengatakan lembaganya mengurangi porsi belajar materi Tes Kompetensi Akademik (TKA) hingga 75 persen. Tes Kompetensi Akademik sendiri merupakan tes untuk mengukur kemampuan peserta dalam bidang keilmuan atau kerap disebut tes mata pelajaran.
“Jadi kita baru akan mengubah secara drastis itu di bulan Januari, tapi di bulan-bualn ini kita sempat ubah juga. […] Kita masih menyisakan TKA ya, jadi kita nggak drastis menghilangkan seluruhnya, kita masih mengajarkan TKA-nya karena asumsi kita kan siswa juga masih punya peluang di seleksi mandirinya.”
Chandra menuturkan, bimbelnya pernah melakukan hal serupa pada tahun 2020 ketika SBMPTN tahun itu juga hanya mengujikan Tes Potensi Skolastik (TPS).
Hasilnya, ia mengklaim jumlah peserta bimbelnya yang lulus SBMPTN kala itu hampir dua kali lipat lebih banyak.
Di sisi lain, saat mengumumkan perubahan seleksi masuk PTN 6 Februari lalu, Mendikbudristek Nadiem Makarim justru menggagas perubahan tersebut agar meringankan beban finansial orang tua yang merasa harus mendaftarkan anak-anak mereka ke lembaga bimbel untuk persiapan seleksi.
Nadiem berharap, perubahan tersebut melepaskan ketergantungan peserta untuk menghapal konten dan mengikuti bimbel serta membuat guru percaya diri bahwa pembelajaran sesuai kurikulum sudah cukup menyiapkan pelajar menghadapi seleksi masuk PTN.
Kegalauan Peserta
Zefa, siswa kelas XII di Cileungsi, merasa campur aduk menanggapi perubahan mekanisme seleksi masuk tersebut. Di satu sisi, ia senang karena artinya beban hapalannya berkurang. Di sisi lain, “nggak terlalu begitu senang, karena aku udah ikut les dan aku juga – untuk mengerjakan soal-soal yang seperti bacaan begitu – bisa dibilang malas dan kurang teliti.”
Sementara Felicia Amanda, siswi kelas XII jurusan IPS di salah satu SMA swasta di Cibubur, menyambut baik perubahan tersebut. Namun, saat ditanya apakah ia merasa lebih percaya diri untuk menghadapi seleksi dengan perubahan yang terjadi, ia mengatakan, “Nggak sepercaya diri itu juga sih dan aku nggak berpikir kayak gitu. Cuma aku lebih berpikir kayak, ‘Oh, mungkin belajarnya bisa lebih fokus ke satu aja nih,’ karena kan materinya lebih sedikit. […] Ini tuh menyangkut hidup dan mati aku.”
Lain halnya dengan Muhammad Syach Iqbal, siswa kelas XII jurusan IPS di salah satu SMA swasta di Banjarmasin, yang optimistis terhadap perubahan itu.
“Pasti deg-degan lah semuanya, tapi intinya kita harus yakin aja dengan kemampuan diri kita dan memberikan apa yang terbaik. […] Apalagi [perubahan] itu akan membuat opsi lintas jurusan lebih mudah.”
Tes Skolastik di AS
Di Amerika Serikat, metode tes seleksi masuk perguruan tinggi yang serupa dengan metode baru Kemendikbudristek sudah diterapkan sejak hampir seabad lalu dengan nama SAT, alias ujian asesmen skolastik.
SAT sendiri merupakan tes yang diselenggarakan oleh lembaga nonprofit AS bernama College Board, yang dikelola oleh Educational Testing Service, atau Badan Pengujian Pendidikan.
Peserta mengerjakan dua bagian tes, yaitu tes Bacaan dan Tulisan Berdasarkan Petunjuk (Evidence-Based Reading and Writing/EBRW), yang sering disebut tes bahasa Inggris, serta tes Matematika dengan tujuan untuk menilai kesiapan peserta mengikuti perkuliahan di perguruan tinggi.
Selain SAT, terdapat pula ACT, alias Ujian Perguruan Tinggi Amerika, yang dikelola oleh lembaga nonprofit dengan nama yang sama, ACT. Dalam tes itu, terdapat empat bidang keahlian yang diujikan, yaitu bahasa Inggris, Matematika, bacaan dan penalaran ilmiah, yang lebih fokus menakar kemampuan pemecahan masalah ketimbang hapalan, serta – seperti SAT – ditujukan untuk menilai kesiapan peserta memasuki dunia perkuliahan. [rd/em]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.