Sebuah video dari lembaga swadaya masyarakat Pertubuhan Kebajikan Al Ehsan Islamiah Malaysia menunjukkan jeritan ngeri sejumlah korban yang dipukuli dan disetrum listrik oleh penculik mereka. VOA tidak dapat memverifikasi secara independen keakuratan video-video itu. Tetapi LSM itu mengatakan apa yang ada terekam dalam video itu merupakan perlakuan khas terhadap pekerja yang telah diperbudak di pusat-pusat penipuan di Asia Tenggara.
Salah seorang korban perdagangan manusia yang hanya bersedia menyebut nama depannya, Ali, mengatakan, “Hukumannya seperti hukuman pada zaman Fir’aun.”
Ali mengatakan ia menghadapi penganiayaan serupa selama dua bulan di sebuah lokasi di Kamboja. Ali meminta agar identitasnya dirahasiakan karena ia takut masih ada bagian dari sindikat perdagangan manusia itu yang memburunya.
Ali terjerat dalam sindikat ini ketika ia terbang ke Kamboja dengan harapan dapat memiliki pekerjaan dengan gaji hampir empat kali lipat dari gaji yang didapatnya sebagai petugas kebersihan di sebuah pabrik di Malaysia. Namun tak lama setelah mendarat, Ali menyadari bahwa ia telah ditipu.
Ali diperbudak di sebuah fasilitas penipuan online di mana mereka – yang merupakan korban penipuan dan perbudakan – dipaksa bekerja 15 jam sehari untuk mencoba membujuk orang yang mereka temui di media sosial agar tertarik dalam skema mata uang kripto tipuan.
Ali mengatakan kinerjanya di fasilitas ini dianggap sedemikian buruknya sehingga dirinya kerap dianiaya para penculiknya. “Saya menangis dan menangis. Saya mohon pertolongan Allah SWT agar dapat keluar dari neraka itu. Mereka sangat kejam. Mereka memukuli saya sangat keras sehingga saya linglung. Mereka membuat mata saya lebam.”
Keluarga korban telah menggelar demonstrasi, termasuk aksi menyalakan lilin di Kuala Lumpur. Kelompok-kelompok aktivis mengatakan para korban – yang berasal dari seluruh Asia – terjebak di berbagai pusat penipuan di daerah tanpa hukum di Myanmar, Laos dan Kamboja. Jumlahnya mungkin puluhan ribu.
Michael Chong, pejabat di Departemen Pengaduan Asosiasi Tionghoa Malaysia mengatakan, “Saya berani mengatakan bahwa ini adalah perbudakan modern.”
Chong mengatakan sejumlah keluarga telah membayar puluhan ribu dolar untuk menebus anggota keluarga yang mereka cintai.
Ditambahkannya, meskipun sindikat penipuan dan perdagangan manusia itu telah ada selama beberapa generasi, korban dari Malaysia meningkat signifikan tahun lalu. Seringkali korban terpikat janji pekerjaan bergaji tinggi.
Meskipun etnis Tionghoa hanya kurang dari seperempat populasi Malaysia, 80% korban perdagangan manusia itu berasal dari etnis Tionghoa karena mereka sering dapat berbicara dalam bahasa Mandarin dan Inggris.
“Mengapa pelaku menarget para korban ini karena mereka ingin menjerat korban untuk menjadi scammer – atau penipu. Scammer terbaik adalah yang dapat berbicara bahasa asing,” imbuh Chong.
Penggerebekan terhadap lokasi yang diduga sebagai tempat penipuan di Kamboja baru-baru ini berhasil membebaskan lebih dari seribu korban. Tetapi kelompok-kelompok HAM mengatakan operasi semacam ini biasanya akan dibuka kembali di tempat lain.
Ali mengatakan ia beruntung bisa melarikan diri karena sebagian yang berupaya melarikan diri telah terbunuh. Ia juga mengingatkan orang-orang tentang sindikat berbahaya ini dan jebakan yang mereka buat. [em/jm]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.