Seratus tiga puluh anak-anak di belahan Nusantara mendesak para pemimpin negara G20 untuk memprioritaskan aksi nyata dalam mengatasi krisis iklim dan kemiskinan pada anak. Desakan tersebut diimplementasikan dengan aksi pembentangan spanduk sepanjang 220 meter di pelataran Monas, Jakarta, Sabtu (29/10).
Aksi peduli lingkungan yang dilakukan tersebut merupakan bagian dari aksi serupa yang dilakukan ratusan anak lainnya dari 12 negara dan empat benua.
“Suara anak dari empat benua sangat penting untuk segera didengarkan dan ditanggapi oleh para pemimpin di G20. Pada G20 Summit (pada) bulan November nanti, kami mendorong agar para pemimpin G20 segera memprioritaskan aksi nyata untuk mengurangi emisi dan membantu anak-anak yang paling terkena dampak krisis iklim dan kemiskinan,” tegas Troy Pantouw, Chief of Advocacy, Campaign, Communication & Media, Save the Children Indonesia.
Menurut laporan Global Save the Children, diperkirakan terdapat 774 juta anak di seluruh dunia—atau sepertiga dari populasi anak dunia—hidup dengan kemiskinan yang parah dan risiko iklim yang tinggi. Indonesia menempati peringkat kesembilan tertinggi secara global terkait jumlah anak yang mengalami kedua ancaman tersebut.
Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa lebih dari 60 juta anak di Indonesia yang pernah mengalami setidaknya satu kali kejadian iklim ekstrem dalam setahun. Fakta ini memperjelas bahwa anak-anak menanggung beban dampak iklim yang lebih keras. Hal ini dikarenakan mereka tumbuh dalam situasi terancam, di samping anak juga memiliki kondisi kerentanan, baik secara fisik, sosial maupun ekonomi.
Aksi Nyata
Aruna (17 tahun), seorang anggota Child Campaigner Yogyakarta, menyatakan peran aktif remaja dalam masalah lingkungan sangat penting.
“Anak muda sekarang semakin sadar akan tantangan dan risiko dari krisis iklim yang akan dihadapi. Bersiap menghadapi risiko tersebut, kami memilih untuk menjadi agen perubahan,” ujar Aruna (17), anggota Child Campaigner Yogyakarta.
Kesadaran terhadap dampak iklim itu, tambahnya, dituangkan dalam aksi-aksi nyata, seperti membersihkan sampah plastik di bantaran sungai, memilah sampah, tidak menggunakan plastik, dan menanam pohon bakau.
“Kami menunjukkan bahwa kami tidak hanya peduli, tapi juga bertindak secara nyata,” tukas Aruna.
Ia juga menyuarakan tentang keadilan iklim karena baginya hal ini menyangkut dua dimensi, yaitu hak hidup dengan kualitas lingkungan sehat yang sama dan jaminan lingkungan aman serta lebih baik untuk para generasi masa depan.
“Untuk itu, keadilan iklim mesti disuarakan dan diadvokasi oleh semua pihak baik kepada pemerintah, perusahaan, masyarakat sipil, akademisi, dan juga kami semua anak – anak dan orang muda. Dengan memastikan bahwa kami diberi hak untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan dan pembangunan yang akan sangat berpengaruh terhadap Bumi.” kata Aruna. [yl/ah]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.