Raja Willem-Alexander Sambut Baik Permintaan Maaf Belanda atas Perbudakan 250 Tahun

Raja Willem-Alexander Sambut Baik Permintaan Maaf Belanda atas Perbudakan 250 Tahun

tribunwarta.com – Raja Belanda Willem-Alexander pada Minggu (25/12/2022) menyambut baik permintaan maaf pemerintah negaranya atas perbudakan selama 250 tahun.

Dalam pidato Natal ia berujar, permintaan maaf itu adalah awal dari perjalanan panjang.

Perdana Menteri Belanda Mark Rutte pada Senin (19/12/2022) secara resmi meminta maaf atas keterlibatan negaranya dalam perbudakan di masa kolonial, dengan menyebutnya sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

“Tak seorang pun saat ini memikul tanggung jawab atas tindakan tidak manusiawi yang dilakukan terhadap nyawa pria, wanita, dan anak-anak,” kata Willem-Alexander di istana Huis ten Bosch, Den Haag, dikutip dari kantor berita AFP.

“Tapi dengan jujur menghadapi masa lalu kita bersama dan mengakui kejahatan terhadap kemanusiaan yang merupakan perbudakan, kita meletakkan dasar untuk masa depan bersama–masa depan ketika kita berdiri melawan semua bentuk modern dari diskriminasi, eksploitasi dan ketidakadilan.”

“Permintaan maaf yang ditawarkan oleh pemerintah adalah awal dari perjalanan panjang,” lanjut raja berusia 55 tahun tersebut.

Belanda mendanai “Zaman Keemasan” kerajaan dan budayanya pada abad ke-16 dan ke-17 dengan mengirimkan sekitar 600.000 orang Afrika dalam perdagangan budak, mayoritas ke Amerika Selatan dan Karibia.

Pemerintah Belanda mengatakan, beberapa acara peringatan besar akan diadakan mulai 2023 dan sudah mengumumkan dana 200 juta euro (Rp 3,32 triliun) untuk prakarsa sosial.

Willem-Alexander berjanji bahwa topik tersebut akan tetap menjadi perhatian keluarga kerajaan selama tahun peringatan dan mereka akan terus terlibat.

Namun, langkah Rutte bertentangan dengan keinginan beberapa organisasi peringatan perbudakan yang menginginkan permintaan maaf disampaikan pada 1 Juli 2023.

Keturunan perbudakan Belanda akan merayakan 150 tahun pembebasan dari perbudakan dalam perayaan tahunan yang disebut “Keti Koti” (Memutus Rantai) di Suriname.

Pemimpin pulau Sint Maarten di Karibia dan Suriname di Amerika Selatan menyayangkan kurangnya dialog dari Belanda terkait permintaan maaf tersebut.

Beberapa bekas jajahan Belanda menuntut ganti rugi atas perbudakan dan mengkritik pemerintah “Negeri Kincir Angin” karena tidak memberikan tindakan nyata.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *