Pilu Anak-anak Ukraina ‘Dipaksa’ Dewasa Gegara Invasi Rusia

Pilu Anak-anak Ukraina ‘Dipaksa’ Dewasa Gegara Invasi Rusia

tribunwarta.com – Nasib anak-anak di Ukraina memprihatinkan. Psikolog menilai anak-anak itu dipaksa dewasa di tengah invasi Rusia ke negaranya.

Dalam laporan AFP yang dilansir, Rabu (28/12/2022), kontributor AFP bertemu dengan sejumlah anak-anak di Lyman –salah satu kota di Ukraina–, salah satunya bernama Gleb Petrov (14). Dia adalah satu-satunya anak belasan tahun di situ.

Gleb mengaku tak memikirkan masa depan. Mimpinya sederhana, dia ingin berjalan-jalan dengan teman layaknya anak seusianya.

“Aku tak terpikirkan soal masa depan,” ucapnya pada AFP.

“Aku bahkan tak tahu apa yang akan terjadi dalam sejam atau sehari ke depan,” imbuh Gleb.

Waktu Gleb dihabiskan untuk merawat para lansia serta salah satu kucing hitam yang juga tinggal di sana. Terkadang dia membaca buku-buku yang seharusnya untuk orang dewasa atau ketika ada aliran listrik dirinya memilih bermain dengan ponselnya.

Ketika ditanya soal mimpi terbesarnya, dia mengaku hanya ingin jalan-jalan dengan teman.

Lusinan anak bertahan di Bakhmut sebab para orang tuanya tak mampu atau tak ingin meninggalkan kota itu. Katherina Soldatova, salah seorang relawan, menyebut bila para anak-anak di sini dipaksa menjadi dewasa.

“Mereka didewasakan keadaan,” ucap Soldatova.

Menurutnya, akses ke lokasi itu sangat berbahaya bahkan baru-baru saja ada 2 warga yang tewas saat menuju ke sana. Tapi itu sudah menjadi jalan hidup bahkan bagi seorang bocah 12 tahun bernama Volodymyr yang memberitahu AFP bila dirinya hanya akan pergi dari situ untuk mencari makan.

Anak lainnya yang ditemui AFP bernama Lisa Shtanko berusia 8 tahun. Lisa bersama sedikit anak-anak lainnya tinggal di kota-kota yang dihancurkan Rusia.

Di tempatnya tinggal hampir tidak ada mesin penghangat maupun aliran listrik seolah menambah kesepian bagi Lisa yang telah ditinggal banyak teman sebayanya. Lyman jadi salah satu kota di wilayah Donetsk yang kerap digempur Rusia, termasuk salah satu serangan yang baru saja terjadi di dekat rumah Lisa.

“Moodku sedang tak bagus hari ini karena penembakan itu,” ucap Lisa pada AFP saat ayah Lisa, Viktor Shtanko, ikut menyaksikan.

Kampung halaman keluarga Shtankos di Lyman sudah 4 bulan terakhir diduduki Rusia dan yang tertinggal kini hanya puing-puing. Hutan di sekeliling kota pun saat ini bersalin rupa menjadi ladang ranjau. Lyman kini sudah kembali dikuasai pasukan Ukraina sejak Oktober lalu meski pertempuran terus berlanjut di sekitar kota itu.

Menjelang malam Tahun Baru dan libur Natal Ortodoks pada 7 Januari sepertinya bisa menjadi pengalih perhatian anak-anak dari perang. Namun mainan yang disiapkan Viktor untuk anaknya akan didonasikan ke kelompok kemanusiaan.

Di tempat yang sama, Kostya Korovkin–seorang ayah dari anak perempuan berusia 6 tahun–meratapi nasib karena tidak punya tujuan bila harus meninggalkan kota Lyman. Dia tak tega karena anaknya, Nastya, harus menghabiskan hari yang panjang di ruang bawah tanah dan sesekali keluar ke jalan hanya untuk menghirup udara bebas.

Terkadang Nastya beranjak ke lantai 6 gedung di mana mereka tinggal sebab hanya di sana dirinya bisa mendapatkan sinyal Internet untuk mengikuti kelas daring. Di pintu bagian depan gedung itu seseorang sudah memasang pohon Natal kecil dan menaruh beberapa permen di ranting-rantingnya.

“Tapi, sudah tak ada lagi anak-anak di sini yang akan berebutan mengambil permen-permen itu,” ucap Korovkin.

Psikolog Alyona Lukyanchuk menekankan bila para anak di Bakhmut kini dalam keadaan ‘tidak aman secara permanen’. Apa maksudnya?

“Dunia bisa mengkhianati mereka seketika dan segalanya hancur,” ucap Lukyanchuk yang bekerja untuk LSM SOS Children’s Villages cabang Ukraina.

Lukyanchuk mengatakan anak-anak itu harus belajar mengatasi tekanan hidup lebih cepat karena para orang tuanya berfokus untuk bertahan hidup. Hal ini disebutnya bisa menyebabkan gangguan jangka panjang, katanya.

“Tidak ada tempat yang aman di Ukraina, tetapi hanya sebagian kecil anak-anak yang tinggal di garis depan,” kata Lukyanchuk.

“Mereka perlu dipantau tetapi saya yakin banyak yang akan menemukan sumber dayanya,” imbuhnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *