Undang-undang Otonomi Khusus Papua yang dikeluarkan pada 2001 telah memberikan otoritas kepada pemerintah daerah Papua untuk mengelola Papua, dan disertai pemberian dana.
Menteri Koordinator Politik. Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menyatakan sejak otonomi khusus dimulai padatahun 2001, pemerintah pusat telah menggelontorkan Rp1.000 triliun lebih ke Papua. Sayangnya uang tersebut sebagian dikorupsi sehingga tidak membawa perubahan signifikan pada pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Papua.
Dana seribu trilliun rupiah lebih tersebut, lanjut Mahfud, terdiri dari empat sumber dana, yaitu dana otonomi khusus, dana belanja K/L, dana transfer keuangan dana desa (TKDD) dan PAD.
Akademisi Universitas Pelita Harapan Adriana Elisabeth menjelaskan banyak hal yang menyebabkan mengapa hingga 20 tahun lebih ini, pelaksanaan Undang-undang Otonomi Khusus – kerap disingkat menjadi UU Otsus – di Papua tidak berjalan secara maksimal meskipun ada perubahan-perubahan yang lebih baik terjadi.
Menurut Adriana, sosialiasi UU Otsus kepada masyarakat Papua sejak awal tidak cukup lengkap. Artinya, kata Adriana, kebanyakan masyarakat Papua memahami bahwa otonomi khusus hanya berupa anggaran atau dana semata. Mereka tidak mengetahui bahwa dana-dana tersebut diperuntukan untuk mencapai semua sektor prioritas seperti kesehatan, pendidikan, ekonomi dan infrastruktur.
Dia juga mempertanyakan apakah pemimpin-pemimpin di Papua mengerti esensi UU Otsus. Ketika sistem pemerintahan yang baik tidak tercapai karena kinerja birokrasi daerahnya tidak maksimal dan disebabkan tidak ada pembinaan, ini juga menjadi masalah.
Berbicara persoalan Papua, kata Adriana, juga dihadapkan pada persoalan geografis dan juga Papua sebagai negara konflik. Dia mencontohkan kesulitan yang dihadapi di daerah pedalaman, yang berbeda dengan daerah perkotaan. Tidak semua daerah pedalaman dapat dicapai dengan satu penerbangan pesawat, sehingga ketika ingin membangun sekolah atau klinik kesehatan misalnya, perlu alokasi dana lebih besar.
Faktor konflik yang terus menyelimuti Papua juga ikut membuat pembangunan menjadi tidak maksimal.
Ironisnya, evaluasi UU Otsus selama ini dilakukan secara pasial, dalam arti pemerintah pusat – dalam hal ini Kemendagri – dan pemerintah Papua tidak melakukan evaluasi bersama-sama.
“Kan evaluasi harus dibicarakan hasilnya apa itu. Hasil evaluasinnya apa, masalahnya apa, mis penyalagunaan yang ada penyebabnya apa kan itu yang harus dibicarakan. Bukan hanya kemudian untuk memikirkan dana otsus berikutnya berapa, kenaikan-kenaikan dana itu harus berdasarkan pada capaian, apakah perlu ditambah .Yang saya lihat orang tidak melihat pada capaian, yang penting dana otsus naik , naik itu untuk apa. Kalau tidak perlu naik kenapa dinaikan tetapi kalau memang naik untuk apa. kan itu harus jelas,” ujar Adriana.
Ketua Panitia Musyawarah Majelis Rakyat Papua Benny Sweny mengatakan harus ada perubahan sasaran terhadap otonomi khusus. Selama ini, kata Benny, otonomi khusus memprioritaskan sasaran di empat bidang yakni pendidikan, kesehatan, ekonomi dan infrastruktur; sementara keempat program tersebut juga dibiayai di provinsi dan kabupaten yang lain di Indonesia.
Dalam kerangka otonomi khusus di Papua maka seharusnya ungkap Benny sasarannya ketiga bidang saja yaitu bidang afirmasi, bidang proteksi dan pemberdayaan.
“Kalau kita berbicara terkait afirmasi maka proses afirmasi harus terjadi pada putra putri Papua yang diberikan prioritas dan kesempatan untuk diterima di ASN, TNI/Polri dan mengakses pendidikan-pendidikan baik di dalam dan luar negeri. Afirmasi di bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Juga proteksi, artinya proteksi terhadap hak-hak dasar orang asli Papua katakana terkait dengan pelanggaran HAM, diperhatikan dan dijadikan kerangka kebijakan strategi dari pemerintah dan juga TNI/Polri, jangan sampai terjadi lagi pelanggaran HAM,” kata Benny kepada VOA.
Sementara di bidang pemberdayaan, lanjut Benny, bagaimana memberikan akses terhadap kelompok masyarakat ekonomi lokal untuk bisa dikembangkan komoditi-komiditi yang ada.
Menurut Benny ketiga bidang ini dapat menjadi bagian indikator untuk memastikan otonomi khusus di Papua berhasil atau tidak. [fw/em]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.