Seorang warga distrik termiskin di Hong Kong, Szeto, berjuang untuk menahan suhu panas di dalam apartemen sempitnya -yang lebih dikenal sebagai apartemen ‘kotak sepatu’. Padahal lokasi rumah susunnya dengan gedung-gedung pencakar langit di kota pusat bisnis itu hanya dipisahkan oleh sebuah pelabuhan.
“Sangat pengap,” kata pria berusia 47 tahun itu. “Saya merasa seperti tidak bisa bernafas dan harus keluar.”
Szeto berbagi apartemennya yang hanya seluas enam meter persegi itu dengan sembilan orang lainnya. Tarif sewa apartemen di wilayah itu termasuk salah satu yang termahal di dunia.
Hidupnya tergolong sangat sulit tahun ini. Panasnya musim panas di Hong Kong juga sangat menyengat. Suhu tertinggi terjadi bulan Juli dan September di tengah terpaan gelombang panas yang paling parah terjadi di kawasan itu sejak tahun 1961.
Pakar klimatologi mengatakan frekuensi dan tingkat keparahan gelombang panas di seluruh dunia merupakan efek dari pemanasan global. PBB memperkirakan gelombang panas akan meningkat dalam beberapa dekade mendatang.
Seorang pekerja sosial, Esther Wu, mengatakan gelombang panas di Hong Kong telah mendorong penduduk seperti Szeto masuk ke dalam situasi yang sulit.
“Kami telah melakukan survei beberapa bulan lalu dan menemukan bahwa suhu di unit rumah susun jauh lebih panas daripada di luar,” Ia menambahkan bahwa itu “seperti lima hingga enam derajat lebih panas dikarenakan desain struktur rumah yang tidak memadai,” katanya.
Sekitar 200.000 penduduk Hong Kong tinggal di rumah susun. Banyak warga yang tinggal di unit yang sempit karena mereka tidak mampu menyewa tipe studio yang ukurannya lebih besar. Dan saat ini dibutuhkan rata-rata enam tahun untuk mendapatkan apartemen perumahan umum.
Kamar Szeto sendiri tidak memiliki jendela, dan dia harus mengandalkan AC-nya agar bisa tidur.
“AC-nya kurang bagus,” ucap Szeto, “jadi meskipun saya menyalakan AC, suhu di dalam ruangan sama panasnya dengan di luar,” ujarnya.
Untuk beberapa warga, seperti Chun Lai, bahkan jika mereka memiliki unit AC yang berfungsi, mereka tidak akan mampu menggunakannya.
Lai mengaku tidak punya banyak uang tambahan untuk membayar listrik karena ia harus membayar uang sewa apartemen. “Bagaimana saya bisa membayarnya?” tanyanya.
Menurut survei LSM lokal, sekitar 70 persen warga yang tinggal di rumah susun mengalami kesulitan untuk membayar tagihan keperluan harian, seperti air dan listrik di musim panas.
Seperti halnya Lai dan Szeto, banyak warga yang memilih untuk berlindung di taman atau pusat perbelanjaan ber-AC di siang hari.
Untuk mengatasi suhu panas di wilayah perkotaan, pemerintah telah membangun 18 tempat penampungan panas di berbagai distrik selama beberapa tahun terakhir. Namun, pekerja sosial Wu mengatakan bahwa tindakan ini tidak efektif karena tempat penampungan tersebut hanya buka pada malam hari.
Esther Wu berpendapat bahwa para pejabat harus mempertimbangkan pemberian subsidi mengatasi suhu panas yang diberikan melalui BUMN listrik China, CLP, untuk orang-orang yang hidup dalam kemiskinan.
“Banyak penduduk yang menganggap bahwa ini adalah musim panas terpanas dalam beberapa tahun terakhir sehingga kami harus mengajukan beberapa subsidi dari CLP, ” ujar Wu. “Ini adalah subsidi di HK $1.000 … untuk melepaskan beban,” tambahnya lagi.
Saat berjalan menyusuri koridor di mana beberapa teman sekamarnya memilih untuk tidur, Szeto mengatakan dia tidak berharap kondisi yang dihadapinya akan berubah. [ss/ah]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.