Pemerintah memastikan migrasi penggunaan gas LPG 3 kilogram ke kompor listrik tidak akan dilakukan pada tahun ini karena belum ada pembahasan dengan pihak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Saat ini program tersebut masih dilakukan dalam tahap uji coba.
“Pemerintah belum memutuskan terkait program konversi kompor LPG 3 kg menjadi kompor listrik induksi. Namun, dapat dipastikan bahwa program ini tidak akan diberlakukan di tahun 2022,” ungkap Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam telekonferensi pers, di Jakarta, Jumat (23/9).
Konversi energi itu sendiri dilakukan sejalan dengan upaya transisi energi yang dilakukan pemerintah. Dalam tahap uji coba, kata Airlangga, pemerintah setidaknya telah menerjunkan 2.000 unit prototype di Bali dan Solo. Menurut rencana, pemerintah akan memberikan 300 ribu unit paket kompor listrik gratis kepada masyarakat.
“Hasil dari uji coba ini akan dilakukan evaluasi dan perbaikan-perbaikan. Pemerintah akan menghitung dengan cermat segala biaya dan risiko, memperhatikan kepentingan masyarakat, serta mensosialisasikan kepada masyarakat sebelum program diberlakukan,” tuturnya.
Sementara itu, pengamat energi Mamit Setiawan menilai kebijakan ini merupakan suatu upaya pemerintah untuk menghemat anggaran. Pasalnya, sebanyak 70-80 persen dari pengadaan gas LPG 3 kg ini berasal dari impor, sehingga harganya seringkali berfluktuasi karena dipengaruhi oleh harga minyak dunia dan kurs mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Selain itu, katanya, tidak bisa dipungkiri bahwa penggunaan gas LPG 3 kg tersebut seringkali tidak tepat sasaran, karena semua lapisan masyarakat masih bisa membelinya. Maka dari itu, ketika program konversi ke kompor induksi tersebut berjalan, maka pelanggan yang disasar hanya masyarakat yang memiliki golongan daya listrik 450-900 volt ampere (VA) agar anggaran subsidi energi menjadi lebih tepat sasaran.
Lebih jauh Mamit menjelaskan, berdasarkan perhitungan yang dilakukannya memang akan jauh lebih hemat menggunakan kompor induksi dibandingkan kompor yang menggunakan gas LPG 3 kg, meskipun perbedaannya tidak signifikan.
“Cuma saya menyarankan kalaupun memang program ini berjalan, pemerintah harus benar-benar berhitung sejauh mana penghematan yang bisa dilakukan. Apakah ini akan jauh lebih hemat dengan subsidi LPG atau akan lebih hemat dengan subsidi di kompor induksi,” kata Mamit.
Ia juga mengingatkan agar tarif listrik yang dikenakan ke masyarakat apabila program konversi energi tersebut dijalankan harus tetap sama. Hal itu sejalan dengan kelompok yang disasar pemerintah, yaitu kalangan masyarakat yang berpenghasilan rendah, bahkan kalangan masyarakat yang rentan miskin. Maka dari itu, pemerintah harus memastikan bahwa nantinya kebijakan tersebut tidak akan memberatkan masyarakat yang termasuk dalam kategori ini.
“Pemerintah juga harus segera membuat regulasi, agar program kompor induksi ini bisa berjalan secara optimal. Kalau tidak ada regulasi kan susah juga,” pungkasnya. [gi/ah]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.