Indonesia masih berduka atas musibah yang terjadi di Kanjuruhan, Malang. Namun, musibah akan terus terjadi kalau tidak ada upaya dan tekad untuk mencegahnya terulang.
Pengamat dan pembawa acara sepak bola di televisi, Mohamad Kusnaeni, mengatakan kerusuhan yang mengiringi pertandingan sepak bola bukanlah budaya Indonesia. Berdasar pengamatannya, “Dalam kasus Malang…yang terjadi adalah ketidakmampuan panitia pelaksana pertandingan mengelola pertandingan dengan proper.”
Mencermati musibah Kanjuruhan, kata Kusnaeni, banyak Pe-eR yang muncul yang selama ini dibiarkan atau tidak diperhatikan. Padahal, semua Pe-eR harus sudah terselesaikan ketika kompetisi berjalan. Ia antara lain menunjuk sarana dan prasarana pendukung di stadion yang menurutnya harus dikaji ulang.
“Soal masuk dan keluar penonton, soal single seat, strategi kalau terjadi situasi. Semua harus betul-betul dicermati pihak operator kompetisi ketika menyatakan sebuah stadion layak menggelar pertandingan liga satu,” imbuhnya.
Ia menambahkan, berdasar standar FIFA, stadion pertandingan harus siap menghadapi kaos, entah itu kerusuhan di lapangan, gempa, kebakaran, atau musibah lain yang tidak mustahil terjadi. Dalam situasi seperti itu, berapapun jumlahnya, penonton harus bisa keluar dari stadion dalam waktu setengah jam, paling lambat satu jam.
Walau sudah tidak lagi aktif sebagai pemain, sepak bola selalu di hati Dipo Alam. Mantan anggota tim nasional Indonesia yang kini tinggal di Amerika, mengaku sedih atas musibah Kanjuruhan. Sepak bola adalah olah raga yang popular, kata Dipo.
“Jeleknya itu ya karena pemikiran belum dewasa. Seharusnya, walaupun timnya beda-beda, kita itu satu negara. Kita itu tahu semua pemain itu juga manusia. Selain itu, seharusnya kita lebih dewasa pemikirannya,” katanya.
Kedewasaan sikap, kata Dipo, harus dituntut dari penonton. Dan mereka, harus paham konsekuensi dari tindakannya.
Di Amerika, Dipo membeberkan, fanatisme penonton juga luar biasa. Kalau lagi kesal, kata-kata yang terlontar sangat pedas dan bisa jadi ‘sangat kotor’. Maklum lah negara ini menjunjung tinggi freedom of speech. Tapi, hanya sampai situ. Tidak sampai ‘turun tangan’.
“Kalau gua berantem, masuk penjara, gak bisa kerja. Enggak bisa kerja, dipecat. Dipecat, siapa yang ngasih makan keluarga? Nah, kalau di sini, pemikirannya seperti itu. At the end of the day, mereka pikir, oh this is just a game. Just sports. Next week ada game lagi. Masih ada lagi musim berikutnya,” lanjut Dipo.
Dipo juga menyentil soal jumlah penonton yang kerap melampaui kapasitas stadion. Merujuk ke tempat tinggalnya di New Mexico, kapasitas stadion yang 15 ribu hanya diisi maksimal 13 ribu. Panitia memperhitungkan kehadiran media dan undangan khusus.
“Dia gak boleh lebih, sampai full capacity.”
Dari paparan Kusnaeni dan Dipo, tidak ada hal tunggal yang bisa dilakukan demi menghadirkan pertandingan yang ‘sejuk’. Ada tiga setidaknya, kata Kusnaeni.
Dari sisi pengelolaan pertandingan, dibutuhkan manajemen yang lebih serius. Wujudnya, kata Kusnaeni, dalam setiap pertandingan harus ada petugas yang bertanggung jawab terhadap keamanan dan kenyamanan semua yang terlibat pertandingan. Orang yang disebut security officer itu harus berlisensi. Tidak asal tunjuk.
“Di Indonesia safety officer tuh kayaknya nggak ada. Klub-klub itu rata-rata nggak punya safety officer yang bersertifikat,” keluhnya.
Terhadap penonton, perlu dilakukan literasi supporter.
“Jadi penonton harus dididik melalui literasi bahwa mereka itu ketika menjadi supporter adalah bagian yang memperkuat klub. Memberi dukungan pada saat menang maupun saat kalah… Fokus ke tim sendiri, bukan ke tim lawan. Ini yang sering terbalik. suporter tidak fokus timnya sendiri malah sibuk mengintimidasi tim lawan. Dia lupa ketika dia melakukan tindakan anarkis, yang rugi klubnya sendiri, yang pada akhirnya dihukum.”
Literasi supporter, menurut Kusnaeni, perlu diambil negara. Harus ada pendidikan dengan menanamkan kesadaran bahwa kalau kita mencintai sesuatu, kita harus bertanggung jawab dan dan sedapat mungkin tidak merugikan tim yang kita cintai.
Yang ketiga, Kusnaeni menunjuk penegakan hukum, seperti juga disampaikan Dipo. Kalau penonton membuat kericuhan, mereka harus dihukum. Tidak cukup dengan dikumpulkan, dijemur, atau disuruh push up, yang menurutnya tidak menimbulkan efek jera.
Bagaimanapun, kata Kusnaeni, musibah Kanjuruhan hanya bagian kecil dari gambaran keseluruhan permainan sepak bola di Indonesia. Ia membeberkan data yang menunjukkan lebih banyak pertandingan yang tidak diwarnai anarkisme, dan bahkan bisa menjadi perekat, seperti ditunjukkan dalam pertandingan lain.
Dengan 131 korban tewas, musibah Kanjuruhan menempatkan Indonesia pada posisi kedua, negara dengan jumlah korban terbayak dalam pertandingan sepak bola. Ini membuat langkah-langkah pencegahan dan pengamanan mendesak diwujudkan. [ka/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.