Melihat situasinya yang kian genting dengan jumlah korban meninggal dunia yang terus bertambah, Ombudsman meminta pemerintah untuk menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) pada kasus gagal ginjal akut yang menyerang sejumlah anak di Indonesia.
Penetapan status KLB diperlukan agar pemerintah dan sejumlah pihak terkait dapat mengambil tindakan penanganan terpadu yang sesuai, ujar Anggota Ombudsman Robert Na Endi Jaweng pada Selasa (25/10).
Robert mengakui bahwa dibutuhkan sejumlah kriteria yang harus dipenuhi untuk menetapkan status KLB berdasarkan Undang-Undang Wabah Penyakit Menular dan Peraturan Menteri Kesehatan. Namun, ia meminta pemerintah tidak membaca aturan tersebut secara tekstual tapi mempertimbangkan situasi yang kini berlangsung di masyarakat.
“Hendaknya pemerintah membuka mata bahwa membaca aturan itu tidak bisa tekstual. Harus membaca filosofi kebijakan di belakang itu, sekaligus melihat situasi emergency yang terjadi,” jelas Robert di Jakarta.
Selain keterpaduan penanganan, Robert berharap penetapan KLB dapat mendorong terpenuhinya Standar Pelayanan Publik, termasuk pelayanan pemeriksaan laboratorium hingga Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama. Menurutnya, pemerintah perlu membentuk tim satuan tugas khusus untuk penanganan kasus gagal ginjal akut setelah penetapan KLB. Dengan demikian, koordinasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, BPJS Kesehatan terkait pembiayaan pasien dapat dilakukan.
“Ini juga akan membuat masif sosialisasi dalam rangka pencegahan kasus gagal ginjal ke depan. Sekaligus memberikan akses informasi yang cepat dan tepat kepada masyarakat,” tambahnya.
Hingga Senin (24/10), Kementerian Kesehatan mencatat terdapat 255 kasus gagal ginjal akut yang tersebar di 26 provinsi. Jumlah korban tewas telah mencapai 143 jiwa.
Kemenkes Klaim Respons Pemerintah Sudah Seperti KLB
Di lain kesempatan, Juru bicara Kementerian Kesehatan RI dr Mohammad Syahril mengatakan istilah KLB disebutkan untuk penyakit menular. Hal tersebut berdasarkan UU Wabah Penyakit Menular dan Peraturan Menteri Kesehatan. Karena itu, Syahril berpendapat bahwa pemerintah tidak menggunakan istilah KLB agar tidak melanggar aturan yang berlaku. Namun, ia mengklaim bahwa respons pemerintah terhadap kasus gagal ginjal akut sudah sama dengan penanganan KLB.
Sejumlah langkah yang telah diambil seperti pembiayaan-pembiayaan yang dibebankan ke pemerintah, respons cepat dan komprehensif, serta koordinasi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan lembaga-lembaga terkait merupakan contoh tindakan dalam penanganan KLB, terang Syahril.
Ia menambahkan pemerintah juga telah mendatangkan obat gagal ginjal dari Singapura dan Australia. Selain itu, pemerintah berencana mendatangkan obat dari Jepang dan Amerika Serikat.
“Kemudian melakukan penelitian, larangan penggunaan obat sirop, dan termasuk dengan BPOM mengumumkan obat yang masih aman digunakan,” pungkas Syahril. [sm/rs]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.