Koalisi masyarakat sipil menolak rencana pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada akhir tahun ini. Mereka berpendapat bahwa RUU tersebut minim partisipasi publik. Selain itu, banyak sejumlah pasal kontroversial yang dianggap masih perlu dibenahi.
Koalisi masyarakat sipil sendiri merupakan kumpulan organisasi non-pemerintah yang di antaranya terdiri Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lokataru dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI).
Peneliti KontraS, Rozy Brilian, menilai selama ini sosialisasi RKUHP yang dilakukan pemerintah dan DPR hanya melalui partisipasi formalistis. Artinya, kata dia, ruang yang sengaja dibuka hanya berisi sosialisasi searah atau hanya memenuhi syarat transparan. Pemerintah, lanjutnya, tidak betul-betul mendengar masukan dan rekomendasi dari publik, apalagi coba menjawab keresahan publik.
“Padahal seharusnya DPR bersama pemerintah bisa lebih intens melibatkan publik, masyarakat sipil dan mahasiswa dalam penyusunan RKUHP dengan mendengar, mempertimbangkan saran dan menjelasakan pertanyaan-pertanyaan yang muncul selama ini,” ujar Rozy kepada VOA, Sabtu (29/10).
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharief Hiariej sebelumnya menyatakan RKUHP akan disahkan menjadi undang-undang oleh pemerintah dan DPR pada akhir tahun ini. Keberadaan konstitusi tersebut dianggap krusial mengingat KUHP yang berlaku di Indonesia merupakan peninggalan era kolonial Belanda yang dianggap sudah tidak relevan lagi.
Pasal Bermasalah
Lebih lanjut Rozy mengatakan substansi RKUHP yang akan diundangkan tersebut belum mengalami perubahan yang berarti setelah masyarakat sipil menolak pada 2019. Pasal-pasal tersebut di antaranya pasal penyerangan harkat martabat presiden, penghinaan lembaga negara, dan pasal-pasal lain yang dianggap berbahaya bagi demokrasi.
Pasal-pasal yang mengancam demokrasi, kata Rozy, tercermin di antaranya dalam pasal tentang penghinaan terhadap pemerintah (pasal 240 RKUHP), penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara (pasal 353 dan 354 RKUHP) serta penyelenggaraan unjuk rasa dan demonstrasi tanpa izin (pasal 273 RKUHP).
“Kami melihat pengesahan RKUHP ini terkesan terburu-buru, padahal tanpa melewati satu partisipasi yang bermakna, (bahkan) cenderung sosialisasi searah. Kan seharusnya pemerintah bisa melibatkan masyarakat secara maksimal terlebih dahulu, baru menetapkan tanggal pengesahannya. Bukan dibalik, tanggal disahkannya ditentukan, tapi proses idealnya tidak dijalankan,” tukas Rozy.
Meskipun masih banyak masalah, ujarnya, tetapi sayangnya pemerintah hanya membuka diskusi terhadap 14 isu krusial.
Keempat belas pasal krusial yang dibahas itu di antaranya pidana adat, pidana mati, penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, penghinaan terhadap peradilan, penodaan agama, aborsi, gelandangan, penganiayaan hewan, mencegah kehamilan dan menggugurkan kandungan, perzinaan, kohabitasi atau kumpul kebo, perkosaan.
Harus Terima Masukan
Sementara itu Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar, mengimbau pemerintah harus menerima masukan atau dinamika yang muncul mengenai substansi pada pasal-pasal RKUHP tersebut. Haris juga mengingatkan bahwa penolakan-penolakan yang terjadi atas dasar materi KUHP cukup banyak. Terkait hal tersebut, maka sektor-sektor tertentu, katanya, harus dibahas dengan pihak tertentu pula yang relevan bukan sekedar ke pakar pidana.
“KUHP itu ada banyak isu di dalamnya dan harusnya ada diskusi dengan kelompok-kelompok yang terkait. Artinya harus banyak diskusi, konsultasi dan partisipasi dengan banyak kelompok. Nah itu tidak bisa kita lihat belakangan ini,” ungkap Haris.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo meminta kementerian terkait untuk menggelar diskusi masif terkait substansi RKUHP dengan masyarakat. Selain memberi pemahaman, diskusi itu diharapkan mampu menjaring masukan masyarakat.
Ketua YLBHI Muhammad Isnur mengatakan ruang yang tidak tersedia secara luas menjadi kontraproduktif dengan arahan Presiden Joko Widodo yang meminta agar pembahasan RKUHP dilakukan secara partisipatif dan inklusif bersama masyarakat. Sayangnya, pembahasan selama ini dilakukan secara terburu-buru, serta tidak mendengar dan mempertimbangkan masukan masyarakat.
Edward Omar Sharief Hiariej membantah anggapan pemerintah tidak transparan dan tidak membuka partisipasi masyarakat dalam membahas RKUHP ini. Pemerintah, kata dia, telah membuka ruang untuk berdiskusi dan menerima masukan. Selain itu, pemerintah juga masih terus melakukan pembahasan terkait 14 isu kontroversial dalam RKUHP. [fw/ah]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.